5 Prinsip Ilmiah Untuk Identifikasi Hoax Dan Berita Palsu

5 Prinsip Ilmiah Untuk Identifikasi Hoax Dan Berita Palsu

5 Prinsip Ilmiah Untuk Identifikasi Hoax Dan Berita Palsu

Bismillah...

Semakin berkembangnya media sosial tampaknya menjadikan "virus informasi" semakin eksis dan menyebar dengan begitu mudah, terutama isu mengenai kesehatan dan berita politik. Dalam Cambridge English Dictionary [Link], berita palsu atau fake news didefinisikan dengan, "Kabar tidak benar yang tampak sebagai berita, tersebar di internet atau media lainnya. Biasanya dibuat untuk mempengaruhi pandangan politik atau disebarkan sebagai lelucon.."

Berita memang bukan sains, mungkin saja keduanya memiliki standar penilaian yang berbeda, tetapi keduanya sama-sama memiliki esensi "kebenaran" dan "kepalsuan". Sains memiliki 3 komponen utama; metode ilmiah, pengetahuan ilmiah, dan aplikasi/ penerapan. Metode ilmiah melibatkan prinsip dan prosedur untuk menemukan kebenaran melalui pengamatan yang sistematis, pengukuran, dan dokumentasi realitas, serta merumuskan, menguji, dan memodifikasi hipotesis dan teori..

Beberapa prinsip dari metode ilmiah berikut dapat kita jadikan sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi hoax, mengenali informasi palsu dan ketidakbenaran sebuah berita..

1. Mayoritas Bukan Standar Kebenaran

Pendapat atau keyakinan mayoritas tidak selalu menjadi sumber kebenaran. Kebenaran dari suatu gagasan atau temuan tidak bergantung pada seberapa populernya mereka. Cukup sering terjadi, pemahaman baru tentang realitas pada awalnya tidak diterima bahkan dikecam oleh mayoritas..

Teori Relativitas Einstein, contoh yang barangkali tidak asing bagi kita. Einstein mengembangkan teori tersebut pada awal abad ke-20 dalam waktu yang lama, dan tentu saja banyak para ahli yang skeptis tentang validitas atau kebenarannya. Pada tahun 1931, terbitlah sebuah buku fenomenal yang berjudul "100 authors against Einstein," yang menyangkal teori relativitas. Tahukah kita, sebagian besar penulis buku tersebut adalah ilmuwan terkemuka di bidangnya dan para ahli yang memiliki reputasi baik..

Untuk menerapkan prinsip tersebut, kita seharusnya menyadari bahwa meskipun sebuah berita dibawakan dan diinformasikan oleh banyak sumber, tidak serta merta menunjukkan bahwa informasi tersebut pasti benar. Kita perlu mencari bukti-bukti pendukung lainnya, juga melihat bagaimana cara informasi itu dikumpulkan dan disajikan..

2. "True Or False", Bukan Tentang "Right Or Wrong"

Sains mempelajari "apa yang terjadi" atau mengamati tentang perubahan realitas dalam dunia fisik dan dunia sosial manusia, bukan mempelajari tentang "apa yang seharusnya" atau menentukan benar/ salah secara moral. Membuat penilaian moral (tentang benar atau salah) dari suatu peristiwa, hubungan, atau perilaku, tidak sama dengan pemahaman tentang kebenaran dan kepalsuan dalam dunia penelitian atau berita. Atau dalam bahasa lain, hukum itu ditentukan oleh "dalil" bukan dengan "perasaan"..

Demikian juga, penilaian moral tidak dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa biologis, fenomena fisika, atau tentang sistem galaksi. Penilaian moral memiliki validitas yang lemah dalam mengidentifikasi dan memverifikasi hubungan sebab-akibat yang obyektif, struktural, dan prosedural, bahkan untuk mengamati variabel makro atau mikro yang menjelaskan perilaku sosial dan aktivitas psikologis..

Memang benar semua perilaku dapat kita nilai dari perspektif moral (right or wrong) dan juga perspektif ilmiah (true or false), tetapi penilaian "apresiasi" tidak dapat membuktikan mana yang true dan mana yang false. Kebenaran secara moral atau politis tidak setara dengan kebenaran yang diverifikasi secara ilmiah..

Sebagai contoh, pengaburan pemahaman tentang true/ false dan right/ wrong dapat kita saksikan sendiri dalam bahasan kekinian tentang flat earth :p :p

3. Sesuatu Yang Khusus Tidak Disimpulkan Secara Umum

Para ilmuan menjaga sikap untuk tidak membuat kesimpulan umum tentang suatu kelompok atau populasi besar ketika mereka hanya menganalisis pengamatan beberapa individu atau sampel kecil dari suatu perilaku atau peristiwa..

Misalnya saja, temuan penelitian yang menggunakan tikus sebagai objek, mungkin tidak memiliki validitas lebih lanjut ketika hasilnya diterapkan pada manusia. Beberapa waktu lalu saya sempat membahas studi terbaru tentang diet ketogenik yang dikatakan dapat memperpanjang umur dan meningkatkan kekuatan fisik, [Link] namun pada penelitian tersebut sebatas menggunakan tikus sebagai objek. Meskipun dibuat hipotesis bahwa tikus dan manusia tidak berbeda jauh pada tingkatan mendasar, tetapi hal tersebut perlu bukti dukungan dan penelitian lebih lanjut, tidak serta merta dibuat kesimpulan secara umum..

Dalam suatu kasus ketika sampel dipilih dari suatu kelompok, perilaku dan atribut mereka mungkin saja tidak mewakili kelompok. Objek juga dapat secara bersamaan masuk ke dalam banyak kategori, misalnya saja pendidikan, cara asuh, situasi, pengalaman, usia, etnis, socioeconomic status (SES), atau hal lainnya yang secara diferensial membentuk perilaku dan atribut target mereka..

Prinsip ini mengindikasikan bahwa berita-berita yang dengan mudah menggeneralisasikan suatu kelompok hanya dengan melihat individu-individu tertentu (tanpa menyampaikan penjelasan alternatif) biasanya memang berita yang sengaja dibuat untuk menyesatkan pembaca dan pendengar..

Ambil contoh tentang teroris dan Islam, bagaimana media mengolah informasi tersebut? Anda bisa dengan mudah menilainya..

4. Pengetahuan Ilmiah Yang Tidak Kekal

Pengetahuan ilmiah adalah entitas yang terakumulasi dan mengalami perkembangan. Apa yang kita ketahui hari ini tentang perilaku manusia, dunia sosial, dan alam semesta masih sangat jauh dari pengetahuan lengkap, barangkali mewakili kurang dari 0,00001% dari informasi yang mungkin. Dengan kata lain, tidak ada kebenaran yang absolut. Ilmu pengetahuan merepresentasikan suatu proses yang kokoh ketimbang menampilkan sebuah kesimpulan, bukan bagaimana sebuah hasil melainkan tentang proses..

Apa yang kita ketahui sekarang, mungkin juga terbatasi oleh berbagai varian budaya, sejarah, situasi, latar belakang peneliti, proses pengamatan, dan faktor-faktor lainnya. Akibatnya, memunculkan tanggung jawab bagi manusia untuk terus menemukan realitas baru, terlibat dalam berbagai penelitian inovatif, juga merevisi teori dan pengetahuan awal yang kita miliki. Menarik apa yang dikatakan oleh Popper (2005) bahwa pengetahuan manusia akan berkembang dengan melewati berbagai "pemalsuan", membedakan yang ilmiah dari yang tidak ilmiah..

Maka dapat dipastikan keliru jika terdapat klaim atau informasi yang menyatakan bahwa pengetahuan terkini (tentang fenomena, peristiwa, atau pun perilaku) sudah lengkap seutuhnya dan tidak boleh "ditantang"..

5. Konsep Perbandingan

Pengetahuan yang benar dan pengamatan yang dianggap bernilai, berasal dari comparison atau konsep perbandingan. Metode eksperimentasi semisal uji acak terkendali atau randomized controlled trial (RCT) lebih disukai dan dianggap sebagai cara paling teliti untuk menghilangkan bias dalam menemukan kebenaran. Mereka membandingkan dua atau lebih kelompok yang identik secara atribut dan dipisahkan dalam perlakuan eksperimental..

Contoh yang dapat kita lihat pada prinsip ini, misalnya sebuah media mengabarkan Perusahaan XYZ menerima 100 keluhan karena produk yang dihasilkan tidak aman. Pembaca dan pendengar yang mendapat informasi tersebut sudah pasti akan menghindari produk dan membangung persepsi negatif. Namun apa yang "hilang" dalam pemberitaan tersebut? seandainya saja media mengabarkan juga perusahaan lain yang sejenis sebagai pembanding, mungkin saja Perusahaan UVW memiliki catatan 700 keluhan terhadap produknya. Tanpa adanya informasi pembanding, penilaian seseorang akan sangat mudah untuk dimanipulasi..

Memahami prinsip-prinsip metode ilmiah dapat membantu kita untuk merenungkan, membuat evaluasi, dan mengambil keputusan yang lebih akurat tentang fenomena, peristiwa, atau pun penilaian terhadap seseorang..

Baca Juga : Penentuan Arah Kiblat – Mengupas Hoax Konspirasi Bumi Datar Teori Flat Earth

——○●※●○——

Esha Ardhie
Selasa, 15 Mei 2018

***

> Referensi [Link] :

De keersmaecker, J., & Roets, A. (2017). 'Fake news': Incorrect, but hard to correct. The role of cognitive ability on the impact of false information on social impressions. Intelligence, doi:10.1016/j.intell.2017.10.005

Kuhn, T. (1970). The structures of scientific revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Popper, Karl (2005). The logic of scientific discovery (Taylor & Francis e-Library ed.). London and New York: Routledge/Taylor & Francis e-Library.


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." [HR. Muslim no. 1893]


Blognya Esha Ardhie Updated at: 19.35.00
Please Feel Free to Share