Ketentuan Memboikot Ahlul Bid'ah [1]
Oleh Ustadz Yazid Bin Abdul Qadir Jawas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah setelah menyebutkan kisah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr Ka'ab bin Malik dan dua orang temannya, dan perintah beliau agar kaum Muslimin menghajrnya, dan kisah 'Umar radhiyallahu 'anhu yang menghajr Shabigh, beliau rahimahullah berkata:
"Karena sebab ini dan yang semisalnya, maka kaum Muslimin berpendapat untuk menghajr orang yang telah nampak tanda-tanda kesesatan padanya dari kalangan orang-orang yang menampakkan bid'ah dan mengajak manusia kepadanya, serta yang terang-terangan melakukan dosa besar. Adapun orang yang melakukan maksiat secara sembunyi-sembunyi dan merahasiakan perbuatan bid'ah yang tidak mengkafirkan maka orang ini TIDAK dihajr, yang dihajr adalah orang yang mengajak kepada bid'ah. Sebab, hajr itu salah satu jenis hukuman, dan hukuman itu hanya diberikan pada orang yang terang-terangan melakukan maksiat, baik dengan perbuatan maupun perkataannya.." [2]
Beliau rahimahullah juga berkata:
"Namun, apabila orang yang dihajr atau selainnya tidak mau berhenti (dari perbuatan bid'ahnya) bahkan keburukannya bertambah, sedangkan orang yang menghajr itu lemah, di mana mafsadat yang ditimbulkan oleh hajr lebih besar ketimbang maslahatnya, maka pada saat itu hajr TIDAK disyariatkan, bahkan membujuk hati sebagian orang lebih baik daripada menghajrnya, dan hajr terhadap sebagian orang lebih baik daripada membujuk hatinya..
Oleh karena itulah, dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membujuk hati suatu kaum dan menghajr yang lainnya, sebagaimana beliau menghajr tiga orang yang tidak ikut Perang Tabuk, padahal mereka lebih baik daripada orang-orang yang dibujuk hatinya. Namun, mengingat mereka adalah para pemuka yang ditaati oleh kaumnya sedangkan maslahat bagi agama ada pada membujuk hati mereka. Adapun ketiga Shabahat yang dihajr adalah orang beriman, dan orang-orang beriman selain mereka sangat banyak sehingga dengan menghajr mereka tampaklah kemuliaan agama sekaligus untuk membersihkan mereka dari dosa-dosanya. Ini seperti disyariatkannya memerangi musuh sekali waktu, berdamai di waktu yang lain, dan mengambil jizyah pada waktu yang lain, semua itu tergantung kondisi dan kemaslahatan.." [3]
Yang harus diperhatikan dalam menghajr dan mentahdzir terhadap ahli bid'ah adalah wajib dengan ikhlas karena Allah Ta'ala, bukan karena dorongan hawa nafsu, dengki, iri, atau taklid, dan lainnya. Selain itu juga harus ittiba' (mencontoh) kepada Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta mengikuti manhaj para Shahabat radhiyallahu 'anhum. Banyak sekali orang yang menghajr karena semata-mata mengikuti hawa nafsunya dan dia menyangka hal tersebut sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.. [4]
Kaidah dalam menghajr, bahwa dalam menghajr harus melihat kepada mashlahat dan mafsadah, dan bertanya kepada ahli ilmu yang dalam ilmunya agar dia TIDAK BERBUAT ZHALIM kepada saudaranya sesama Muslim..
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Seandainya setiap ada perselisihan antara dua orang Muslim tentang suatu perkara kemudian mereka saling hajr, maka tidak akan ada lagi penjagaan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.." [5]
Beliau rahimahullah juga berkata, "Betapa banyak manusia digambarkan (dihiasi) oleh setan bahwa yang ia lakukan itu sebagai amar ma'ruf nahi munkar dan jihad di jalan Allah, padahal sesungguhnya yang ia lakukan itu berupa KEZHALIMAN dan PERMUSUHAN.." [6]
Baca Juga : Bagaimana Sikap Kita Seharusnya Terhadap Ahli Bid'ah – Ustadz Abu Yahya Badrusalam
——○●※●○——
Sumber : Mulia Dengan Manhaj Salaf, halaman 327-329. Penulis : Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Penerbit : Pustaka At-Takwa, cetakan ke-7 Tahun 2013.
Disalin ulang oleh : Esha Ardhie
Senin, 28 November 2016
[1] Lihat al-Mukhatasharul Hatsiits (hal. 217-218).
[2] Majmu' Fatawa (24/174-175).
[3] Majmu' Fatawa (28/206).
[4] Disadur dari Majmu' Fatawa (28/207).
[5] Majmu' Fatawa (24/173).
[6] Lihat Majmu' Fatawa (14/482)
Blognya Esha Ardhie Updated at: 20.13.00