Tragedi Anak Bangsa
Korban lalu berjatuhan. Ribuan rakyat mati sia-sia. Mereka yang dicurigai terlibat sebagai anggota atau partisan PKI, ditangkapi. Ada yang diproses secara hukum, tapi banyak yang langsung dijebloskan ke penjara. Tak sedikit pula yang langsung dibunuh..
Bagi keluarga mereka yang dianggap "tidak bersih lingkungan", mereka dikucilkan, tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak boleh melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri, tidak boleh menjadi gum, pekerja seni (dalang dan sebagainya), apalagi jadi tentara..
Tak terbilang berapa banyak di antara sesama anak bangsa yang dicurigai berbau PKI, tanpa proses pengadilan, terpaksa harus mendekam di penjara, lalu dibuang ke Pulau Nusakambangan atau Pulau Buru. Di pulau-pulau itu, mereka diperlakukan layaknya tawanan perang..
Orde Baru, yang menggulingkan Orde Lama, menuding mereka -para anggota PKI dan simpatisannya itu-, selama ini juga berlaku kejam terhadap musuh-musuh politik mereka. Mereka menyatakan banyak nyawa yang melayang selama PKI mendapat angin dari Orde Lama..
Itulah tragedi anak bangsa. Jika pun Kick Andy mengangkat topik ini, bukan dimaksudkan untuk mengungkit-ungkit masa lalu atau mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi justru untuk menginspirasi agar peristiwa semacam itu jangan pernah lagi terjadi di bumi pertiwi ini. Topik ini hendak memperkuat semangat rekonsiliasi yang dihembuskan berbagai pihak yang ingin agar bangsa ini tidak lagi terkotak-kotak atau dipisahkan oleh lembaran hitam sejarah masa lalu..
***
"Genjer-Genjer". Siapa yang tidak kenal dengan lagu berbahasa jawa ini, yang sangat populer pada tahun 1960-an. Begitu populernya lagu tersebut sehingga anak-anak dan remaja gemar menyanyikan lagu yang dianggap sebagai "lagu kebangsaan" PKI pada saat itu..
Sumilah, gadis berusia 14 tahun (pada 1965), mengaku senang dengan lagu tersebut, apalagi jika lagu itu dilengkapi dengan tarian. Diajak oleh salah seorang kawannya, Sumilah pun ikut menyanyikan dan menarikan lagu "Genjer-Genjer" di Sukoharjo. "Menari kan enak," katanya saat tampil di Kick Andy..
Gara-gara menyanyikan dan menarikan lagu itulah, Sumilah ditangkap tentara. "Padahal saya cuma ikut-ikutan, tapi tentara tidak peduli," ujar Sumilah. Dia lalu dijebloskan ke penjara. Tanpa proses pengadilan, Sumilah mendekam di penjara (berpindah-pindah) selama 14 tahun..
Di Kick Andy, Sumilah yang kini berjualan sate dan sudah lanjut usia mengungkapkan peristiwa tragis yang dialami 40 tahun yang lalu. Tidak jelas juntrungannya, tahu-tahu Sumilah ditangkap dan dipaksa naik truk. Di kantor tentara, dia diinterogasi..
"Apakah kamu ikut nari Genjer-Genjer?" bentak tentara..
"Iya," jawab Sumilah polos..
"Apakah kamu ikut Gerwani?" bentak tentara lagi..
"Tidak," jawab Sumilah..
Tidak percaya dengan jawabannya, tentara menempeleng Sumilah..
"Bisa pasang senjata?" tanya tentara lagi..
Lagi-lagi Sumilah, karena memang tidak tahu soal persenjataan, menjawab: "Tidak." Imbalannya, Sumilah kena bogem tentara. Selain disiksa, di kantor tentara itu, Sumilah juga ditelanjangi. "Waktu itu, saya hanya pasrah kepada Tuhan," katanya..
Dendamkah Sumilah dengan orang-orang yang pernah menganiayanya? Dengan tegas, dia menjawab, "Tidak.."
***
Mulyono yang kini berusia 75 tahun adalah salah seorang saksi aksi kekejaman, baik yang dilakukan tentara maupun PKI. Pada tahun 1965, dia berprofesi sebagai fotografer pada harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Profesi yang disandangnya menjadikan laki-laki ini sering mengunjungi berbagai tempat dan melihat berbagai peristiwa tragis dan mengabadikannya lewat foto..
Di sebuah desa, dia melihat banyak mayat dalam keadaan mengenaskan. Pada waktu itu, dia tidak tahu, siapa gerangan mayat-mayat tersebut. Namun setelah bertanya kepada aparat desa, barulah dia mengerti ternyata mayat-mayat itu adalah anak anggota Marinir dan anggota Pemuda Anshor, organisasi di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). "Mereka dibunuh oleh PKI dengan cara disembelih," katanya..
Mulyono mengaku bergidik melihat peristiwa yang disaksikannya. "Saya kaget dan ketar-ketir, yang diperangi kok bangsa sendiri," katanya. Mayat-mayat itu kemudian dikubur di halaman belakang rumah. Di tempat lain, Mulyono melihat, darah segar berceceran di mana-mana. "Saya semula takut melihat darah, tapi lama-kelamaan biasa," ujarnya..
Kali lain Mulyono melihat ada sesosok mayat yang tergeletak di tepi rel. Setelah dilihat, masya Allah, kepala mayat dipatok dengan paku yang biasa digunakan untuk mematok rel kereta api. Paku rel tersebut dipakukan di kiri dan kanan kepala menyerupai banteng. Usut punya usut, ternyata mayat tersebut adalah anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang juga menjadi musuh PKI..
Masih ada pengalaman lain yang dialami Mulyono saat menjalankan tugasnya sebagai fotografer. Suatu kali dia dan kawan-kawannya melihat caping (topi berbentuk limas terbuat dari bambu yang biasa dipakai petani) di jalan. Setelah caping itu dibuka, ya ampun, di dalamnya ada kepala manusia yang badannya terkubur. Si pemakai caping tentu saja sudah tak bernyawa. Menjawab pertanyaan Andy Noya, Mulyono tidak habis pikir, mengapa peristiwa tragis seperti itu bisa terjadi. "Sesama anak bangsa kok tega saling membunuh," katanya..
***
Tega membunuh..? Simak pengakuan sang penjagal manusia pada tahun 1965-an bernama Rauf (bukan nama sebenarnya). Di Kick Andy, demi keamanan, dia mengenakan topeng saat diwawancara. Rauf mengaku dia sudah membunuh total ada 86 anggota PKI. "Saya tega melakukan ini karena ini tugas negara," katanya..
Dia menjalankan tugas sebagai eksekutor bermula ketika pasukan dari RPKAD datang ke desanya. Pasukan itu dia sambut warga desa dengan teriakan dan ucapan, "Selamat datang, selamat datang." Kedatangan pasukan RPKAD itu oleh warga desa disambut layaknya pahlawan penyelamat negara..
Waktu itu usia Rauf 34 tahun. Oleh komandan RPKAD, dia kemudian diminta agar mencari teman-temannya untuk direkrut sebagai tukang jagal manusia. Total yang diminta 40 orang. Mereka kemudian diminta untuk mencari dan menunjukkan siapa-siapa saja yang dicurigai sebagai anggota PKI. Begitu informasi diberikan, orang-orang yang itu pun ditangkap, lalu dibunuh. Orang yang bertugas membunuh, salah seorang di antaranya, adalah Rauf..
Rauf menjelaskan, eksekusi umumnya dilangsungkan pada pagi hari pukul 04.00. Seminggu dua kali Rauf harus melakukan eksekusi dengan cara menembak. Sekali eksekusi, dia diharuskan membunuh 10 anggota PKI. Ironisnya, orang yang ditembaki tidak lain adalah teman atau tetangganya sendiri. Lagi-lagi, Rauf tega melakukannya. "Sebab ini tugas negara," katanya. Termasuk dia harus membunuh perasaan hatinya saat harus mengeksekusi pamannya sendiri yang dituduh simpatisan PKI..
Bagaimana perasaan Anda ketika itu, Andy Noya bertanya. Dengan enteng, Rauf menjawab: "Mungkin karena waktu itu saya masih muda. Apa yang saya lakukan demi pemerintah. Kalau sekarang ada yang mau menyalahkan saya, ya silakan. Waktu itu saya hanya orang yang diperintah.."
***
Tragedi anak bangsa di tahun 1965 juga melukai batin Tri Endang Batari. Saat itu dia berusia 11 tahun dan duduk di kelas 5 SD. Dia kehilangan ayah yang dituduh sebagai anggota PKI. Sampai sekarang, dia tidak mengetahui ayahnya masih hidup atau sudah meninggal dunia..
Karena masih kanak-kanak, Endang waktu itu tidak tahu-menahu apa yang sedang terjadi. Dari tetangganya, dia hanya mengetahui bahwa ayahnya terlibat PKI dan ujung-ujungnya ayahnya diciduk..
Dia tidak tahu politik. Yang dia tahu, sang ayah adalah sosok ayah yang baik yang mencintai keluarga. Sehari-hari, sang ayah bekerja sebagai petani dan pegawai kabupaten. Sejak ayahnya ditangkap, Endang mendapat tekanan batin. "Keluarga kami dikucilkan, diejek, dan dicemooh, kami dianggap sebagai musuh negara," katanya..
Untuk menyambung hidup, sang ibu menjual harta benda yang dimilikinya. Meja, kursi, dan perobatan rumah dijual, demikian pula tanah. Sampai sekarang Endang juga tidak punya rumah..
Suatu kali dia pernah mencari ayahnya saat dirinya akan menikah. Sang ayah diperlukan sebagai wali pernikahannya. Berbekal surat pengantar dari kantor urusan agama, dia mendatangi kantor Kodim. Aparat di kantor ini menjelaskan bahwa ayah Endang memang pernah ditahan di kantor tersebut, tapi sudah dipindahkan ke LP Wirogunan..
Dicek ke LP Wirogunan, sang ayah tetap tiada. Dengar-dengar, saat di LP Wirogunan, sang ayah diperiksa pada malam hari. Konon kalau ada tahanan yang diperiksa pada malam hari, termasuk sebagai gembong dan sudah dieksekusi mati..
Dendamkah Endang atas peristiwa yang menimpa ayah dan keluarganya? "Saya bisa memaafkan jika semua itu dilakukan demi negara. Tapi saya sulit menerima jika latar belakangnya hanya karena dendam," katanya..
Tokoh NU Sholahudin Wahid mengungkapkan tragedi bangsa sebagaimana pernah terjadi pada tahun 1965 tidak boleh terulang. Namun, dia bisa memahami jika pada saat itu suasananya memanas, karena pertentangan antara PKI dan Islam, juga kaum nasionalis memang sengit..
Syamsudin, anggota Komnas HAM, menyimpulkan kedua belah pihak pada tahun 1965 sama-sama telah melakukan kekejaman terhadap kemanusiaan. Mereka samasama melanggar HAM. "Itu tragedi kemanusiaan yang belum ada tandingannya," katanya..
Agar tidak memunculkan dendam berkepanjangan dan dimanfaatkan pihak-pihak ketiga, Syamsudin mengatakan, para korban harus bersedia memaafkan, sementara pelaku harus pula bersedia minta maaf..
Dengan demikian, ke depan, ada damai di antara sesama anak bangsa..
Baca Juga : Kisah Pemuda Yang Amat Mencintai Istrinya, Namun Istrinya Tak Mencintainya
——○●※●○——
Sumber : Kick Andy - Kumpulan Kisah Inspiratif, halaman 264-271. Penyusun : Gantyo Koespradono. Cetakan Pertama, Maret 2008. Link Ebook : Download
Ditulis ulang oleh : Esha Ardhie
Minggu, 24 Juli 2016