Kebiasaan Orang-Orang Sufi Yang Menghinakan Diri
Oleh : Imam Ibnul Jauzi Al-Baghdadi (W. 597H)
Dari Muhammad bin Ahmad An-Najjar, dia berkata, "Ali bin Babawaih adalah salah seorang sufi. Suatu hari dia membeli sepotong daging lalu hendak membawanya pulang ke rumah, namun rupanya dia merasa malu terhadap orang-orang di pasar. Maka dia menggantungkan potongan daging itu di lehernya lalu membawanya pulang ke rumah."
Kami benar-benar tak habis pikir terhadap orang-orang yang hendak menghapus pengaruh dan tabiatnya, sesuatu yang tidak mungkin dan juga tidak diinginkan oleh syariat. Manusia telah diberi tabiat, bahwa dia akan merasa senang jika dirinya tampil dengan pakaian yang baik dan malu jika telanjang. Sementara syariat pun tidak melarang seseorang tampil dengan pakaian yang baik. Apa yang dilakukan Ali bin Babawaih yang menghinakan dirinya adalah tindakan yang kurang terpuji, karena itu merupakan tindakan yang rendah dan bukan merupakan mujahadah, seperti orang yang membawa sandalnya di atas kepala. Sesungguhnya Allah telah memuliakan Bani Adam dan telah menciptakan orang lain yang siap membantunya. Bukan termasuk ajaran agama jika seseorang menghinakan dirinya di hadapan orang lain.
Orang-orang sufi menyebut tindakan semacam itu dengan istilah "mulamatiyah". Mereka melakukan suatu dosa dengan berkata, "Kami bermaksud menghinakan diri di mata manusia agar kami bisa selamat dari sifat riya' dan takabur."
Mereka itu bisa diibaratkan orang yang menzinahi seorang wanita dan membuatnya hamil. Ketika ada yang bertanya kepadanya, "Mengapa tidak menggugurkan kandungan wanita itu?" Dia menjawab, "Aku mendengar bahwa pengguguran kandungan itu haram." Maka bisa dikatakan kepadanya, "Apa komentarmu jika dikatakan bahwa zina itu haram?"
Orang-orang yang bodoh itu telah menghinakan dirinya di sisi Allah. Mereka lupa bahwa orang-orang Muslim itu merupakan saksi Allah di muka bumi.
Dari Abu Amr bin Ulwan, dia berkata, "Abul-Husain An-Nuri membawa tiga ratus dinar hasil dari penjualan harta bendanya. Lalu dia duduk di atas jembatan sambil melemparkan keping-keping uangnya satu demi satu. Setiap kali melemparkan uangnya ke sungai, dia berkata, "Kamu datang kepadaku untuk menipuku."
Lalu orang-orang yang melihat tindakannya berkata, "Andaikan saja dia menafkahkannya fi sabilillah, tentu akan lebih baik bagi dirinya."
Kalaupun memang uang dinarnya itu menyibukkannya sehingga dia lalai dalam beribadah kepada Allah, seharusnya dia melemparkan semuanya sekaligus ke dalam sungai agar dia cepat terlepas dari sesuatu yang dianggap mengganggunya. Dengan begitu jelas bahwa mereka benar-benar tidak mengetahui syariat dan tidak menggunakan akalnya. Seperti yang sudah kami jelaskan di atas, syariat memerintahkan agar kita menjaga harta dan tidak menyerahkannya kecuali kepada orang yang berakal. Sebab harya itu telah dijadikan sebagai penopang bagi kehidupan Bani Adam. Akal pun akan menalar bahwa harta itu diciptakan untuk berbagai kemaslahatan. Jika harta itu dibuang begitu saja, berarti dia telah merusak sebab kemaslahatannya dan tidak mengetahui hikmah Dzat yang telah menciptakannya. Alasan yang dipergunakan Abul-Husain juga lebih buruk dari tindakannya. Kalaupun dia merasa takut terhadap dampak harta, toh dia bisa menyerahkannya kepada fakir miskin yang sangat membutuhkannya.
Baca Juga : Pingsan Ketika Mendengarkan Al-Qur'an, Tipuan Iblis Terhadap Orang-Orang Sufi
——○●※●○——
Sumber : Buku “Perangkap Setan” (edisi terjemah) halaman 353-354. Judul Asli: تلبيس إبليس. Penulis: Ibnul Jauzi. Penerjemah: Kathur Suhardi. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Cetakan ke-12 Tahun 2013.
Disalin ulang oleh : Esha Ardhie
Sabtu, 05 Desember 2015