Hadits Larangan Minum Sambil Berdiri Dan Menggunakan Tangan Kiri Itu Tidak Masuk Akal? (Menjawab Pernyataan Dosen UI)


MUQADDIMAH

Beberapa waktu silam muncullah sebuah wacana yang menyebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia, yaitu Bapak Joko Widodo terlihat posenya yang minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri pada saat acara buka puasa bersama dengan ratusan anak yatim di Istana Negara pada Ramadhan 1436 H (18/06/15), tentu saja hal tersebut menjadi sorotan banyak orang. Pasalnya, perilaku tersebut dinilai tidak etis karena seorang pemimpin sudah seyogyanya memberikan contoh dan teladan yang baik bagi warga negaranya, khususnya terhadap anak-anak yatim yang berada di sana. Maka hadits-hadits Nabi tentang larangan minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri pun mulai ditampakkan dalam dunia maya dengan harapan agar kita memiliki panutan, khususnya pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan adab-adab kesopanan.

Mari kita perhatikan adab dan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa memberikan teladan, dan memberikan nasehat.

Dari ‘Umar bin Abi Salamah radhiallahu anhu dia berkata: Dulu aku adalah anak kecil yang berada di bawah pengasuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika makan, tanganku berpindah-pindah kesana kemari di atas piring. Maka beliau bersabda kepadaku:

يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Wahai Nak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah yang ada di dekatmu.” [HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022]

Perhatikanlah bahwa Rasulullah menyeru anak kecil itu dengan sebutan “Ya Ghulam..”, Wahai Nak.. Sebuah ungkapan yang begitu sopannya, ini menunjukkan kedekatan beliau dan tanda bahwa beliau menyayangi anak tersebut. Yang pertama kali beliau nasehatkan adalah agar menyebut nama Allah sebelum makan, yaitu dengan ucapan “Bismillah“, yang secara tidak langsung akan mengingatkan pengucapnya untuk menyadari bahwa apa yang ia makan merupakan rizki dan karunia dari Allah. Lalu nasehat beliau dilanjutkan agar makan dengan tangan kanan, inilah yang menunjukkan bahwa makan dengan tangan kanan bukanlah persoalan sopan atau tidak sopan atau pun hanya sekedar kebiasaan belaka, tetapi ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa yang mengikutinya dengan niat mencontoh Nabi, maka akan mendapatkan pahala dan siapa yang tidak mengikutinya dengan niat menyelisihi Nabi, maka ia akan berdosa. Dua nasehat pembuka tersebut mengiringi nasehat utama untuk seorang anak yang tangannya selalu berpindah-pindah saat makan, yaitu agar memakan apa yang dekat dengan dirinya, karena orang yang makan dengan tangan yang “comot sana comot sini” menunjukkan semangat yang terlalu berlebihan (baca: terlihat rakus). Itulah nilai-nilai keislaman dan adab kesopanan yang dituntunkan dari seorang pemimpin umat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada seorang bocah, dan tentunya agar diikuti oleh seluruh umat Islam.

Pemimpin yang shaleh adalah idaman bagi orang-orang yang beriman. Ketika seorang pemimpin memiliki kecakapan dalam tata negara, ditambah memiliki keshalehan, maka itu adalah karunia yang sangat besar yang Allah berikan bagi penduduk suatu negeri. Dan karunia itu kian bertambah, apabila sang pemimpin adalah orang yang memiliki perhatian terhadap agama, penegakan syariat, dan dakwah tauhid.

Namun, kalangan liberal seperti biasa memunculkan sensasi sensasi yang sama sekali tidak lucu. Adalah Dr. Ade Armando, MSc. yang merupakan seorang Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, dalam tulisannya yang dimuat Madina Online, setelah menyebutkan dua hadits terkait, beliau pun berkata:

Namun, hadis semacam ini sebenarnya juga sudah banyak dibantah ulama lain karena sejumlah argumen. Argumen pertama adalah ternyata ada hadis-hadis sahih lain yang menunjukkan bahwa di kesempatan lain, Nabi terlihat makan dan minum sambil berdiri. Jadi ada kontradiksi antara berbagaii hadis yang sama-sama sahih. Argumen kedua adalah hadis semacam ini tak perlu diikuti karena alasan rasional: tidak masuk di akal! Apa urusannya Allah melarang orang makan sambil berdiri atau pakai tangan kiri? Membayangkan bahwa ada setan yang makan dengan tangan kiri juga sama absurdnya. Dan kalau setan memang makan dengan tangan kiri apakah dengan begitu bila manusia makan dengan tangan kiri itu berarti mengikuti setan. Lalu kelakuan setan apa lagi yang tidak boleh ditiru?

Dari perkataannya yang terlihat sangat merendahkan syariat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Dr. Ade dengan mengatasnamakan Ulama menolak hadits tersebut karena dua hal:

1). Kontradiksi.
2). Tidak masuk akal.

TEKS HADITS

Paling tidak, ada 2 (dua) hadits yang dibicarakan dan ditolak oleh Dr. Ade dengan alasan yang telah disebutkan dan Alhamdulillah haditsnya adalah hadits shahih.

A. Larangan Minum Sambil Berdiri

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِىَ فَلْيَسْتَقِئْ

“Janganlah salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Barangsiapa yang lupa, hendaklah ia muntahkan.” [HR. Muslim no. 2026]

B. Larangan Minum Dengan Tangan Kiri

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Jika seseorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya. Jika dia minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya. Karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula.” [HR. Muslim no. 2020]

KONTRADIKSI

Sudah tidak asing lagi bahwa yang suka membentur-benturkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tokoh-tokoh orientalis, bahkan menyebutkan bahwa hadits -hadits itu sendiri yang merupakan sumber kontradiksi. Salah seorang orientalis berkata: ”Dan hendaknya dalam kesempatan ini, kita mengingat bahwa materi hadits Nabi yang diriwayatkan, pada kenyataannya adalah sumber dari kontradiksi. Maka kebanyakan apa yang ada di dalam kandungan hadits dari hawa nafsu itulah yang menimbulkan kontradiksi. Maka hukum akhir bukanlah tujuan puncak muhadits (ahli hadits), akan tetapi tujuannya adalah hukum terhadap materi riwayat yang mereka riwayatkan.

Untuk itu kita perlu ketahui satu asas yang wajib diyakini oleh setiap muslim, bahwa Islam adalah agama Allah yang sempurna dan terjaga dari kontradiksi, saling berbenturan atau saling bertolak belakang, karena syariat yang indah ini diciptakan oleh Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya.

Allah ta’ala berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” [QS. An-Nisa: 82].

Maka tidak mungkin Al-Qur’an bertentangan dengan Hadits shahih, karena Hadits itu merupakan penjelas daripada Al-Qur’an dan hadits shahih pun tidak mungkin bertentangan dengan hadits shahih lainnya. Jika terlihat sekilas bertentangan antara satu hadits dengan hadits lainnya yang sama-sama shahih, maka itu bisa jadi muncul karena ketidaktahuan kita tentang ilmu hadits, atau karena ketidakpahaman dan lemahnya fiqih dalam memahami hakikat yang diinginkan oleh nash (dalil).

Dan para ulama telah ber-ijma’ (bersepakat) bahwa tidak ada satu pun dalil-dalil qath’i (yakni Al-Quran dan As-Sunnah) yang bertentangan atau kontradiksi.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Hendaklah diketahui bahwa hukum-hukum Allah dan hukum-hukum Rasul-Nya tidak bertentangan. Semuanya adalah sejalan.” [Ar-Risalah, hal. 173 no. 480]

Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah adalah orang yang terkenal ahli dalam menggabungkan hadits-hadits yang sekilas bertentangan, beliau mengatakan:

ﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﺣﺪﻳﺜﻴﻦ ﻣﺘﻀﺎﺩﻳﻦ ، ﻓﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﻋﻨﺪﻩ ﻓﻠﻴﺄﺗﻨﻲ ﺑﻪ ﻷﺅﻟﻒ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ .

“Aku tidak mengetahui bahwa ada dua hadits yang saling kontradiksi (bertentangan). Maka barangsiapa yang memiliki hadits yang bertentangan, hendaklah mendatangiku dengan membawa hadits tersebut supaya aku memadukan (menjelaskan) keduanya.” [Tadrib Ar-Rawi, 2/176]

Dalam keterangan yang dibuat oleh Dr. Ade, kontradiksi yang dimaksud adalah mengenai hadits larangan minum sambil berdiri, karena pada kesempatan lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat minum dalam keadaan berdiri.

Mengenai hal ini kita katakan bahwa memang terdapat hadits-hadits yang (sekilas) bertentangan, misalnya hadits yang telah disebutkan dengan hadits berikut:

ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ : ﺷﺮﺏ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﺋﻤﺎً ﻣﻦ ﺯﻣﺰﻡ .

Dari Ibnu ‘Abbas, ia bekata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum air zam-zam sambil berdiri.” [HR. Al-Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027].

Namun dalam hal ini, para ulama kita telah melakukan berbagai cara untuk menyelesaikan dan mengambil kesimpulan hukum dari hadits-hadits yang sekilas bertentangan tersebut [1], bahkan Imam An-Nawawi menyimpulkan bahwa tidak ada (hadits) yang bertentangan dalam masalah ini, beliau berkata:

ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻷَﺣَﺎﺩِﻳﺚ ﺑِﺤَﻤْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺇِﺷْﻜَﺎﻝ , ﻭَﻻ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺿَﻌْﻒ , ﺑَﻞْ ﻛُﻠّﻬَﺎ ﺻَﺤِﻴﺤَﺔ , ﻭَﺍﻟﺼَّﻮَﺍﺏ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﻬْﻲ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺤْﻤُﻮﻝ ﻋَﻠَﻰ ﻛَﺮَﺍﻫَﺔ ﺍﻟﺘَّﻨْﺰِﻳﻪ . ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺷُﺮْﺑﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻓَﺒَﻴَﺎﻥ ﻟِﻠْﺠَﻮَﺍﺯِ , ﻓَﻼ ﺇِﺷْﻜَﺎﻝ ﻭَﻻ ﺗَﻌَﺎﺭُﺽ , ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺫَﻛَﺮْﻧَﺎﻩُ ﻳَﺘَﻌَﻴَّﻦ ﺍﻟْﻤَﺼِﻴﺮ ﺇِﻟَﻴْﻪِ

Tidak ada kontradiksi dalam hadits-hadits ini, segala puji bagi Allah ta’ala. Tidak ada pula kelemahan padanya, bahkan semua hadits-hadits tersebut adalah shahih. Dan yang benar di dalamnya adalah: Larangan dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanzih. Adapun minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada pertentangan. Inilah yang perlu dikatakan dalam persoalan ini.” [Syarh Shahih Muslim, 13/195]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Siapa yang menyangka (menganggap) adanya pertentangan di dalam Kitabullah ta’ala atau di dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau di antara keduanya maka hal itu bisa jadi karena ilmunya yang sedikit, atau pemahamannya yang dangkal, atau kurang mentadaburi, maka hendaklah ia menuntut ilmu dan bersungguh-sungguh dalam mentadaburinya sehingga kebenaran jelas baginya. Apabila kebenaran itu belum juga jelas baginya maka serahkanlah perkaranya kepada orang yang mengetahuinya. Hendaklah ia berhenti dari sangkaan itu, hendaklah ia mengatakan seperti perkataan orang-orang yang mendapat ilmunya, ‘Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Rabb kami.’ (QS. Ali-Imran: 7). Serta hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada pertentangan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak juga di antara keduanya, dan tidak ada perbedaan (pada keduanya).” [Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, hal. 13-14]

Dan untuk masalah makan atau minum dengan tangan kiri, Alhamdulillah tidak ada hadits yang terlihat kontradiksi di sini, yang ada hanyalah perbedaan kesimpulan mengenai hukumnya yang terbagi menjadi 2 pendapat, yaitu makruh dan haram. [2]

Kita catat di sini bahwa minum menggunakan tangan kiri, minimal hukumnya adalah makruh. Dan ketika para ulama menyebut sesuatu itu makruh, tentu maksudnya adalah agar orang-orang menjauhi hal tersebut, bukan malah melakukannya apalagi menjadikannya kebiasaan.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟﺤَﻼَﻝُ ﺑَﻴِّﻦٌ ، ﻭَﺍﻟﺤَﺮَﺍﻡُ ﺑَﻴِّﻦٌ ، ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﻣُﺸَﺒَّﻬَﺎﺕٌ ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬَﺎ ﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ، ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﻤُﺸَﺒَّﻬَﺎﺕِ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳﻨِﻪِ ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ : ﻛَﺮَﺍﻉٍ ﻳَﺮْﻋَﻰ ﺣَﻮْﻝَ ﺍﻟﺤِﻤَﻰ ، ﻳُﻮﺷِﻚُ ﺃَﻥْ ﻳُﻮَﺍﻗِﻌَﻪُ

“Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas. Di antaranya ada yang syubhat, yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjauhi yang syubhat, ia telah menjaga kehormatan dan agamanya. Barangsiapa mendekati yang syubhat, sebagaimana pengembala di perbatasan. Hampir-hampir saja ia melewatinya.” [HR. Bukhari 52, Muslim 1599]

Al Khathabi menjelaskan hadits ini,

ﻭَﻓِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﺍﺳْﺘِﺤْﺒَﺎﺏُ ﺃَﻥْ ﻳَﺤْﺬَﺭَ ﺍﻹِﻧْﺴَﺎﻥُ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺃَﻣْﺮٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻜْﺮُﻭﻩِ ﻣِﻤَّﺎ ﺗَﺠْﺮِﻱ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻈُّﻨُﻮﻥُ ﻭَﻳَﺨْﻄُﺮُ ﺑِﺎﻟْﻘُﻠُﻮﺏِ ﻭَﺃَﻥْ ﻳَﻄْﻠُﺐَ ﺍﻟﺴَّﻼﻣَﺔَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑِﺈِﻇْﻬَﺎﺭِ ﺍﻟْﺒَﺮَﺍﺀَﺓِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮِّﻳَﺐِ

“Dalam hadits ini ada ilmu tentang dianjurkannya setiap manusia untuk menjauhi setiap hal yang makruh dan berbagai hal yang menyebabkan orang lain punya sangkaan dan praduga yang tidak tidak. Dan anjuran untuk mencari tindakan yang selamat dari prasangka yang tidak tidak dari orang lain dengan menampakkan perbuatan yang bebas dari hal-hal yang mencurigakan.” [Talbis Iblis, 1/33]

TIDAK MASUK AKAL

A. Menolak Hadits Dengan Akal

Setelah membaca uraian di atas, maka kita tidak mendapatkan ulama yang menolak dan berpaling dari hadits shahih dengan alasan karena tidak masuk akal, ini hanyalah kedustaan Dr. Ade terhadap ulama. Menolak hadits karena tidak masuk akal ternyata hanyalah akal-akalannya Dr. Ade saja, karena menabrakkan hadits dengan akal itu memang cirinya kaum liberal. Mentang-mentang terlihat dalil yang kontradiksi, terus dipilih-pilih yang sesuai selera gitu..?? Demi membela sang tokoh pujaan hati, Bapak Jokowi..?? Jika akal itu dijadikan patokan, maka akalnya siapa yang harus jadi standar kebenaran..??

Coba kita simak jawaban dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ketika beliau ditanya mengenai sikapnya terhadap hadits shahih.

Ar-Rabi mengatakan, “Aku mendengarnya mengatakan, saat ditanya oleh seseorang, ‘Wahai Abu Abdillah, apakah kita berpegang dengan hadits ini?’ Asy-Syafi’i mengatakan, ‘Kapan saja aku meriwayatkan sebuah hadits shahih dari Rasulullah lalu aku tidak berpegang dengannya, maka aku menjadikan kalian sebagai saksi bahwa akalku telah hilang‘.” [Tarikh Al-Islam, hal. 321 dan Wafayat Al-A’yan Wa Anba’ Az-Zaman, 201-210]

Menolak hadits shahih karena menganggapnya tidak masuk akal ternyata merupakan tanda bahwa akalnya telah hilang..!!

‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” [HR. Abu Daud no. 162]

Sebagai analogi. Jika kita membeli helm, maka kepala kita yang harus menyesuaikan dengan helm atau helm yang dipilih (disesuaikan) dengan kepala kita..?? Sudah tentu helm yang harus sesuai dengan kepala kita. Begitupun dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah terhadap akal, akal yang harus mengikuti dan menyesuaikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang harus sesuai dengan akal.

Syaikh Ali Thanthawi rahimahullah berkata:

ﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ ﻫﻮ ﺍﻟﺤُﺮ ﺍﻟﺤُﺮﻳﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ، ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ، ﻓﺈﻥ ﻋﻘﻠﻪ ﻳﻘﻴﺪ ﺣﺮﻳﺘﻪ

“Orang gila adalah orang yang bebas secara mutlak. Adapun orang berakal maka akalnya mengikat kebebasannya.”

B. Kedudukan Akal Dalam Pandangan Ahlus Sunnah

Tetapi.. Kalau begitu untuk apa kita punya akal kalau tidak untuk dipakai..? Bukankah Allah memuji orang-orang yang berakal dengan sebutan ulul albab..?

Coba kita simak dahulu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan orang yang berakal, Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” [QS. Ali-Imran: 190-191]

Ternyata Ulul Albab (orang yang berakal/berpikir) adalah orang yang senantiasa mengingat Allah, yaitu yang mentauhidkan Allah dan menjauhkan segala bentuk macam kesyirikan, mereka adalah orang-orang yang memahami dan mengamalkan kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar.

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah berkata, “Salafush Shalih memberikan kedudukan dan peran yang benar bagi akal dengan mengatakan bahwa dalil dari nash yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal sehat. Sebab, akal tidak mendapatkan bimbingan dengan sendirinya, tetapi akal itu mengikuti syariat. Seandainya ia mendapatkan bimbingan dengan sendirinya, niscaya Allah ta’ala tidak akan mengutus para Rasul dan tidak pula menurunkan Kitab-Kitab-Nya. Atas dasar inilah para Salaf berpendapat bahwa apabila dalil syariat bertentangan dengan akal maka wajib mendahulukan dalil syariat daripada akal, karena fungsi akal adalah membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh syariat, sedangkan syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal.” [Mulia Dengan Manhaj Salaf, hal. 189]

Imam Abul Muzhaffar As-Sam’ani rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa, akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik dan buruk. Seandainya wahyu tidak datang kepada kita, maka tidak ada suatu kewajiban agama pun bagi seseorang dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.” [Al-Hujjah Fi Bayanil Mahajjah, I/314-315]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Katakanlah: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Kewajiban rasul itu hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas.” [QS. An-Nur: 54]

Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut [3]:

1). Syari’at didahulukan atas akal, karena syari’at itu ma’shum sedang akal tidak ma’shum.

2). Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.

3). Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.

4). Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syari’at.

5). Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak preogatif syari’at.

6). Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.

7). Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

ﻭَﻣَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻣُﻌَﺬِّﺑِﻴﻦَ ﺣَﺘَّﻰٰ ﻧَﺒْﻌَﺚَ ﺭَﺳُﻮﻟًﺎ

“Kami tidak akan mengadzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul.” [QS. Al-Israa’: 15]

8). Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.

9). Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang Diri-Nya:

ﻓَﻌَّﺎﻝٌ ﻟِﻤَﺎ ﻳُﺮِﻳﺪُ

“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [QS. Al-Buruuj: 16]

Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah menjadi dalil yang bathil. [4]

KEBINGUNGAN SEORANG DOKTOR


A. Apa Urusan Allah..?

Dan dalam hal ini Dr. Ade kelihatannya bingung dengan bertanya, “Apa urusannya Allah melarang orang makan sambil berdiri atau pakai tangan kiri?

Maka jika ditanya apa urusan Allah..?? Sesungguhnya Allah yang menciptakan langit 7 (tujuh) lapis, pemilik dunia dan seisinya, berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” [QS. Al-Hashr: 7]

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al-Ahzab: 21]

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنّي

“Barangsiapa yang tidak menyukai Sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.” [HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401]

فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنّي

“Barangsiapa yang enggan melaksanakan Sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” [HR. Ibnu Majah no. 1846; Ash-Shahihah no. 2383]

Dan cukuplah dengan melihat apa yang dicontohkan oleh para shahabat Nabi dalam mengamalkan sunnah ini menjadi jawaban bagi Bapak Dosen yang kami hormati.

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata,

لست تاركا شيئا كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعمل به إلا عملت به، فإني أخشى إن تركت شيئا من أمره أن أزيغ

“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang di amalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku amalkan. Karena aku khawatir bila aku meninggalkan perintahnya maka aku akan tersesat.” [HR. Bukhari no. 3093]

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berdiri dihadapan Hajar Aswad seraya berkata,

إني أعلم أنك حجر لاتضر ولا تنفع، ولو لا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu, yang tidak mendatangkan bahaya dan tidak pula memberikan manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” [HR. Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270]

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang berdirinya orang-orang ketika usungan jenazah lewat,

قدرأينا رسول الله صلى الله عليه وسلم قام فقمنا، وقعد فقعدنا

“Sungguh, kami pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, maka kami pun berdiri. Dan ketika beliau duduk, kami pun duduk.” [HR. Muslim no. 962]

Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah memerintahkan umatnya agar mengikuti Sunnahnya, dan keimanan para sahabat serta salafush shalih adalah mengikutinya tanpa bertanya “Kenapa..?”..

Dan seorang ulama salaf pun berkata, “Tadinya kita sesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepada kita melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu kita wajib mengikuti jejak beliau.”

B. Cara Membayangkan Setan Makan Pakai Tangan Kiri

Dr. Ade Armando berkata, “Membayangkan bahwa ada setan yang makan dengan tangan kiri juga sama absurdnya.

Maka kita pun bertanya kepadanya, “Siapa yang menyuruhnya untuk membayangkannya..?” Sesungguhnya manusia tidaklah diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit, tugas kita bukanlah untuk mempertanyakan bagaimananya, lalu menolak dalil dengan alasan tidak dapat dibayangkan. Tetapi tugas akal kita adalah menerimanya dan tunduk kepada dalil.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” [QS. Al-Isra: 85]

إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ

“Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [Al-Baqarah: 30]

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib.” [QS. Al-Baqarah: 2-3]

Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Az-Zuhri bahwasanya beliau rahimahullah mengatakan, “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalah pasrah dan tunduk.” [Fathul Bari, XIII/512]

Imam Ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengembalikan segala kesamaran kepada Dzat Yang Maha Mengetahui.” [Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 199]

C. Kelakuan Setan Apa Lagi Yang Tidak Boleh Ditiru..?

Seorang dosen komunikasi itu pun melanjutkan kebingungannya dengan pertanyaan, “Dan kalau setan memang makan dengan tangan kiri apakah dengan begitu bila manusia makan dengan tangan kiri itu berarti mengikuti setan. Lalu kelakuan setan apa lagi yang tidak boleh ditiru?

Maka perhatikan dahulu bahwa sesungguhnya kita dilarang dari menyerupai orang-orang kafir. Allah ta’ala berfirman,

ﻭَﻻ ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻛَﺎﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞُ ﻓَﻄَﺎﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢُ ﺍﻷﻣَﺪُ ﻓَﻘَﺴَﺖْ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻭَﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻓَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ

“Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Al-Hadiid: 16]

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,

ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻧﻬﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﺘﺸﺒﻬﻮﺍ ﺑﻬﻢ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻷﺻﻠﻴﺔ ﻭﺍﻟﻔﺮﻋﻴﺔ

“Oleh karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai mereka (orang kafir) dalam hal apapun, baik dalam perkara pokok (ushuliyyah) maupun cabang (furu’iyyah).” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/20]
Jika kita dilarang menyerupai orang-orang kafir, maka apalagi jika kita menyerupai setan yang sangat jelas bahwa dia adalah musuhnya manusia..??

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﺂﻛِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ، ﺇِﻣَّﺎ ﺷَﻴْﻄَﺎﻥٌ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﻣُﺸَﺒَّﻪٌ ﺑِﻪِ

“Yang makan dengan tangan kiri, kalau ia bukan setan maka ia menyerupai setan.” [Zadul Ma’ad, 2/369]
Allah ta’ala berfirman,

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮﺍ ﺧُﻄُﻮَﺍﺕِ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﺒِﻊْ ﺧُﻄُﻮَﺍﺕِ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳَﺄْﻣُﺮُ ﺑِﺎﻟْﻔَﺤْﺸَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya ia menyuruh kepada perbuatan buruk dan kemungkaran.” [QS. An Nur: 21]

Maka setan itu sangat senang jika anda makan dengan tangan kiri, karena dengan demikian menunjukkan bahwa anda telah mengikuti setan dan menyelisihi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Maka ini bukanlah perkara remeh..!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺸﺎﺭﻛﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻬﺪﻱ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺗﻮﺭﺙ ﺗﻨﺎﺳﺒﺎً ﻭﺗﺸﺎﻛﻼً ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺘﺸﺎﺑﻬﻴﻦ ، ﻳﻘﻮﺩ ﺇﻟﻰ ﻣﻮﺍﻓﻘﺔ ﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺧﻼﻕ ﻭﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ، ﻭﻫﺬﺍ ﺃﻣﺮ ﻣﺤﺴﻮﺱ ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻼﺑﺲ ﺛﻴﺎﺏ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻳﺠﺪ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻧﻮﻉ ﺍﻧﻀﻤﺎﻡ ﺇﻟﻴﻬﻢ ، ﻭﺍﻟﻼﺑﺲ ﻟﺜﻴﺎﺏ ﺍﻟﺠﻨﺪ ﺍﻟﻤﻘﺎﺗﻠﺔ – ﻣﺜﻼً – ﻳﺠﺪ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻧﻮﻉ ﺗﺨﻠﻖ ﺑﺄﺧﻼﻗﻬﻢ ، ﻭﻳﺼﻴﺮ ﻃﺒﻌﻪ ﻣﺘﻘﺎﺿﻴﺎً ﻟﺬﻟﻚ ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻤﻨﻌﻪ ﻣﺎﻧﻊ .

“Bahwasannya kesamaan lahiriyah akan menimbulkan kesesuaian dan keserupaan antara dua orang yang saling menyerupai, yang nantinya akan mengantarkan kepada kesamaan dari sisi akhlaq dan perbuatan. Yang demikian adalah perkara yang bisa dirasakan. Seseorang yang mengenakan pakaian yang dikenakan orang ‘alim, maka ia akan mendapati dirinya memiliki kecondongan kepada mereka. Selanjutnya tabiat akan mengarah ke sana kecuali apabila ada faktor pencegah.” [Iqtidha’ Shiraathil-Mustaqiim, 1/93]

PENUTUP

Sedikit kata penutup bahwa sebuah ungkapan mengatakan, “Seandainya tidak mengharapkan pahala dari Allah, sungguh membantah ucapan-ucapan mereka hanyalah membuang-buang waktu..”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, seorang Ulama Besar abad ini memberikan nasehat: “Sungguh tidak mungkin bagi seorang mukmin yang memiliki kemampuan, tatkala dia mendengar hujatan terhadap syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pribadi beliau, dia diam begitu saja tanpa ada pembelaan.” [Huquq Da`at Ilaiha Fithrah hal. 5]

Imam Al-Humaidi mengatakan:

ﻭَﺍﻟﻠﻪِ ! ﻷَﻥْ ﺃَﻏْﺰُﻭَ ﻫَﺆُﻻَﺀِ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺮُﺩُّﻭْﻥَ ﺣَﺪِﻳْﺚَ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ n ﺃَﺣَﺐُّ ﺇِﻟَﻲَّ ﻣِﻦْ ﺃَﻥْ ﺃَﻏْﺰُﻭَ ﻋِﺪَّﺗَﻬُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻷَﺗْﺮَﺍﻙِ

“Saya perang melawan orang-orang yang menolak hadits Nabi lebih saya sukai daripada saya perang melawan pasukan kafir sejumlah mereka.” [Dzammul Kalam al-Harawi, 2/158 no. 236]

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami dan kaum muslimin, bahwa yang benar itu adalah benar dan berilah kami hidayah untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami dan mereka, bahwa yang bathil itu adalah bathil dan berilah kami hidayah untuk menjauhinya. Seaungguhnya Engkau Maha Mengetahui dan Maha Bijakasana.

–oOo–

Allahu a'lam.

Semoga Allah selalu memberikan kita petunjuk dan keselamatan, Allahul Musta’an.

Esha Ardhie
18 Syawal 1436 H

CATATAN :
 

[1]. Silahkan melanjutkam bahasan ini yang lebih lengkap dalam tulisan Ustadz Abul Jauza hafidzahullah berikut: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/08/pembahasan-minum-sambil-berdiri-perlu.html

[2]. Bisa disimak dalam artikel berikut: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-makan-dan-minum-dengan-tangan-kiri.html

[3]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, hal. 45

[4]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, hal. 46


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." [HR. Muslim no. 1893]


Blognya Esha Ardhie Updated at: 16.01.00
Please Feel Free to Share