Pembahasan Fikih Penting Seputar Pandemi Virus Corona COVID-19 | Ustadz Firanda Andirja

Pembahasan Fikih Seputar Pendemi Virus Corona COVID-19

"Barang siapa yang bertahan dengan sabar maka akan mendapatkan pahala mati syahid, apakah ia meninggal, ataukah sakit lalu sembuh, atau tidak terkena wabah sama sekali.."




Permasalahan Fikih Terkait Corona


Oleh: Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A.

Baru-baru saja WHO menyatakan bahwa virus corona (COVID-19) telah meningkat derajat penyebarannya dari wabah menjadi epidemi dan akhirnya sekarang menjadi pendemi. Yaitu penyebarannya sudah internasional dan negara-negara internasional gagal dalam membendung penyebaran tersebut. Dan telah mencapai lebih dari 100 ribu kasus hingga saat ini, dan kematian telah mencapai ribuan. Yang menjadi spesifik dari COVID-19 adalah penyebarannya yang begitu cepat dan begitu mudah, berbeda dengan virus-virus yang sebelumnya. Dan qodarullah kota Jakarta tercinta telah terjangkiti wabah COVID-19, dan setiap hari semakin banyak yang terjangkiti..

Berikut beberapa permasalahan fikih yang berkaitan dengan tersebarnya virus corona..

A. Terkait Masuk Dan Keluar Dari Kota Yang Terkena Wabah

Pertama:

Jika mendengar ada corona terjadi di sebagian kota maka orang-orang yang berada di luar kota tersebut tidak boleh masuk ke kota tersebut. Nabi shallallahu 'alaihissalam bersabda:

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ

"Jika kalian mendengar tentang tho'un di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari tho'un tersebut.." [HR. Al-Bukhari 3473 dan Muslim no. 2218]

Adapun hikmah tidak mendatangi ke area tersebut adalah agar tidak tertular, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

"Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa.." [HR Ahmad no. 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan al-Albani di ash-Shahihah no. 783]

Ini menunjukan seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh agar menghindar dari orang yang sedang berpenyakit menular, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh untuk lari seperti lari dari ganasnya singa. Dan Allah berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

"Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan.." [QS. Al-Baqoroh: 195]

Kedua:

Barang siapa yang berada di lokasi wabah maka tidak boleh keluar dari lokasi tersebut jika karena ingin menghindar, karena sabda Nabi di atas. Ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama tentang sebab larangan ini, di antaranya:

1. Agar wabah tersebut tidak lebih luas penyebarannya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ

"Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat.." [HR. Al-Bukhari no. 5774 dan Muslim no. 2221]

2. Jika semua orang sepakat untuk keluar dari lokasi, maka jadilah orang yang tidak mampu untuk keluar (karena sudah parah) tidak akan ada yang mengurusi mereka, baik dalam kondisi ia sakit atau setelah ia meninggal. Yaitu jika dia sakit tidak ada yang merawatnya, dan jika ia meninggal maka tidak ada yang menguburkannya..

3. Jika dibolehkan untuk keluar dari lokasi wabah maka orang-orang yang kuat akan keluar dan tentu ini akan menghancurkan hati orang-orang yang tidak mampu keluar karena mereka ditinggalkan oleh saudara-saudara mereka. Demikian juga semakin memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka..

4. Dengan tidak keluar maka orang-orang yang bertahan hidup mampu untuk memiliki kemampuan menghadapi penyakit tersebut dengan kondisi cuaca yang ada. Bisa jadi jika mereka keluar kondisinya berbeda. Berkaitan dengan corona ternyata lebih banyak yang bertahan hidup daripada yang meninggal..

5. Sangat memungkinkan bahwa orang yang keluar lantas selamat maka ia akan berkata, "Seandainya aku bertahan (tidak keluar) tentu aku akan terkena wabah", dan sebaliknya yang terkena wabah akan berkata, "Seandainya aku keluar tentu aku akan selamat". Dan perkataan "seandainya" yang seperti ini dilarang oleh syariat.. [Lihat poin kedua hingga kelima di Fathul Baari, 10/189]

6. Orang yang keluar akan melewatkan dirinya dari kesempatan untuk meraih pahala mati syahid. Karena jika ia bertahan dengan sabar maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid apakah ia meninggal ataukah sakit lalu sembuh, atau tidak terkena wabah sama sekali.. [Lihat: Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro, 4/10-11]

Karena barang siapa yang bersabar untuk tidak keluar dari lokasi wabah karena mencari wajah Allah maka ia mendapatkan pahala mati syahid meskipun ia selamat, dengan syarat ia tidak mengeluh..

Ibnu Hajar al-Haitami berkata:

أَنَّ أَجْرَ الشَّهِيدِ إنَّمَا يُكْتَبُ لِمَنْ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ بَلَدِ الطَّاعُونِ، وَأَقَامَ قَاصِدًا ثَوَابَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى رَاجِيًا صِدْقَ وَعْدِهِ عَارِفًا أَنَّهُ إنْ وَقَعَ لَهُ أَوْ صَرَفَهُ عَنْهُ فَهُوَ بِتَقْدِيرِ اللَّهِ غَيْرَ مُتَضَجِّرٍ بِهِ إنْ وَقَعَ بِهِ

"Pahala mati syahid hanyalah tercatat bagi orang yang tidak keluar dari daerah wabah tho'un, dan ia menetap karena mencari pahala dari Allah, berharap janji Allah, menyadari bahwa jika wabah tersebut menimpanya atau terhindar darinya semuanya dengan taqdir Allah, dan ia tidak mengeluh jika menimpanya.." [Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro, 4/14]

Lari keluar dari lokasi wabah merupakan dosa besar, karena disamakan seperti lari dari medan pertempuran, sementara lari dari medan pertempuran merupakan dosa besar. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الْفَارُّ مِنَ الطَّاعُونِ، كَالْفَارِّ مِنَ الزَّحْفِ

"Orang yang lari dari wabah tho'un seperti orang yang lari dari medan pertempuran.." [HR. Ahmad no. 14477 dan dinilai hasan lighoirihi oleh al-Arnauth dan juga al-Albani di as-Shahihah no. 1292]

Ketiga:

Yang dilarang adalah lari dari lokasi wabah karena ingin terhindar dari wabah, yaitu berdasarkan sabda Nabi فِرَارًا مِنْهُ "karena lari dari wabah". Adapun jika seseorang keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan lain maka hal ini tidaklah mengapa. Contoh ia keluar dari lokasi wabah karena ada tugas dan pekerjaan, atau karena harus menjenguk orang tua dan karena hal-hal yang lain, yang tentunya hanya Allah yang mengetahui niatnya yang sesungguhnya..

An-Nawawi berkata:

أما الْخُرُوْجُ لِعَارِضٍ فَلاَ بَأْسَ بِهِ… وَاتَّفَقُوا عَلَى جَوَازِ الْخُرُوجِ بِشُغْلٍ وَغَرَضٍ غَيْرِ الْفِرَارِ

"Adapun keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan (bukan untuk menghindar dari wabah) maka tidak mengapa ... dan para ulama sepakat akan bolehnya keluar karena pekerjaan atau tujuan lain selain menghindar dari wabah.." [Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, 14/205-207]

Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:

وَمَنْ خَرَجَ لِحَاجَةٍ مُتَمَحِّضَةٍ لَا لِقَصْدِ الْفِرَارِ أَصْلًا وَيُتَصَوَّرُ ذَلِكَ فِيمَنْ تَهَيَّأَ لِلرَّحِيلِ مِنْ بَلَدٍ كَانَ بِهَا إِلَى بَلَدِ إِقَامَتِهِ مَثَلًا وَلَمْ يَكُنِ الطَّاعُونُ وَقَعَ فَاتَّفَقَ وُقُوعُهُ فِي أَثْنَاءِ تَجْهِيزِهِ فَهَذَا لَمْ يَقْصِدِ الْفِرَارَ أَصْلًا فَلَا يَدْخُلُ فِي النَّهْيِ

"Barang siapa yang keluar karena murni kebutuhan bukan sama sekali karena hendak menghindar dari wabah, dan kondisi ini bisa tergambarkan pada orang yang hendak bersiap bersafar dari suatu negeri yang ditinggalinya menuju negeri tempa menetapnya misalnya, dan wabah tho'un belum mewabah, lalu tiba-tiba bertepatan muculnya wabah dengan kondisinya yang hendak bersafar, maka orang ini sama sekali tidak bermaksud untuk menghindar dari wabah, maka ia tidak termasuk dalam larangan.." [Fathul Baari, 10/188]

Namun tetap saja seseorang yang merasa sehat ketika harus meninggalkan kota wabah karena ada keperluan maka hendaknya ia benar-benar memperhatikan segala kemungkinan, jangan sampai ia malah memindahkan virus yang masih dalam masa inkubasi dalam dirinya. Jika dia pun harus keluar maka jangan berkontak dengan siapapun hingga selesai masa inkubasi (sekitar 2 minggu) untuk memastikan bahwa ia telah sehat dan bebas corona. Wallahu a'lam..

Keempat:

Jika ternyata wabah sudah menyebar dan kasusnya sama antara kota A dan kota B atau serta kota C, maka tidak mengapa seseorang masuk dan keluar dari dan menuju kota-kota tersebut, karena sama hukumnya, sama-sama lokasi wabah. Ibnu Hajar al-Haitami berkata:

لَوْ عَمَّ إقْلِيمًا لَمْ يَحْرُمْ الْخُرُوجُ مِنْ بَعْضِ قُرَاهُ إلَى بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ لَا فِرَارَ حِينَئِذٍ أَلْبَتَّةَ

"Jika wabah telah meliputi suatu negara maka tidak mengapa keluar dari satu daerahnya ke daerah yang lain, karena pada kondisi demikian tidak ada bentuk lari lagi.." [Al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubro, 4/11]

B. Terkait Shalat Berjamaah

Pertama:

Boleh meninggalkan shalat berjama'ah dan shalat jum'at. Jika kota telah ditetapkan sebagai kota wabah, dan sudah semakin banyak korban maka tidak mengapa seseorang untuk tidak shalat berjama'ah dan bahkan tidak mengapa untuk meninggalkan shalat jum'at..

Hal ini karena di antara hal yang bisa menjadikan kewajiban berjama'ah adalah hujan, takut, sakit, angin kencang, dan semisalnya, maka bagaimana lagi dengan khawatir dengan virus yang bisa menimbulkan kematian dan tersebar begitu cepat..

Kaidah pertama: Semua udzur yang membolehkan untuk meninggalkan shalat berjama'ah itulah juga udzur untuk membolehkan meninggalkan shalat jum'at..

أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ، هِيَ أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجُمْعَةِ، فَلاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى خَائِفٍ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، وَلاَ عَلَى مَنْ فِي طَرِيْقِهِ مَطَرٌ، وَلاَ عَلَى مَنْ لَهُ مَرِيْضٌ يَخَافُ ضَيَاعَهُ

"Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjama'ah itulah udzur untuk meninggalkan shalat jum'at. Maka tidak wajib jum'at bagi orang yang takut atas (keburukan menimpa) dirinya, atau menimpa hartanya, demikian juga orang yang kehujanan dalam perjalanannya (menunju masjid), demikian orang yang sedang mengurusi orang sakit yang dikhawatirkan akan terlalaikan (jika ia meninggalkannya untuk shalat jum'at).." [Al-Bayaan fi Madzhab al-Imam as-Syafi'i, 2/545]

Kaidah kedua: Udzur-udzur tersebut bersifat umum yaitu semua hal yang menimbulkan kesulitan. An-Nawawi berkata:

أَنَّ بَابَ الْأَعْذَارِ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لَيْسَ مَخْصُوصًا بَلْ كُلُّ مَا لَحِقَ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ فَهُوَ عُذْرٌ وَالْوَحَلُ مِنْ هَذَا

"Sesungguhnya permasalahan udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jum'at dan shalat berjama'ah bukanlah udzur khusus, akan tetapi semua yang mendatangkan kesulitan yang berat maka termasuk udzur. Dan becek termasuk udzur.." [Al-Majmuu' Syarh al-Muhadzzab, 4/384]

Jika becek dan hujan saja bisa menjadi udzur untuk meninggalkan shalat jum'at dan shalat berjama'ah maka apalagi khawatir terkena penyakit corona yang bisa merenggut nyawa, bukan nyawa sendiri bahkan nyawa keluarga dan banyak orang (karena risiko penularan yang begitu cepat). Demikian juga orang yang sakit dan yang khawatir terkena penyakit maka boleh meninggalkan shalat berjama'ah dan shalat jum'at..

Al-Mardawi berkata:

{وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ} بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

"Dan orang yang sakit diberi udzur untuk meninggalkan shalat jum'at dan shalat berjama'ah tanpa ada perselisihan. Dengan diberi udzur juga untuk meninggalkan shalat jum'at dan shalat berjama'ah karena ketakutan munculnya penyakit.." [Al-Inshoof, 2/300]

Jika seseorang boleh meninggalkan shalat berjama'ah karena makanan yang sudah hadir dan juga karna menahan buang air karena pikirannya tersibukan tidak bisa khusyu', maka terlebih lagi ketakutan terhadap virus corona. Bagaimana seseorang shalat sementara pikirannya paranoid terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Terlebih lagi virus corona tidak kelihatan, dan juga orang yang terjangkiti virus tersebut bisa jadi tidak langsung tampak tanda-tandanya. Bisa jadi ia merasa sehat ternyata ia terjangkiti, lantas ia berinterakasi dengan orang-orang lain akhirnya ia ikut menularkan virus tersebut..

Juga berdasarkan kaidah fikih دَفْعُ الْمَضَارِّ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ "Menolak kemudorotan didahulukan daripada meraih kemaslahatan"..

Alhamdulillah ulama al-Lajnah ad-Daimah (Arab Saudi) telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Rajab 1441 (12 Maret 2020) yang berkaitan dengan virus corona, di antara poin-poin fatwa tersebut:

مَنْ خَشِيَ أَنْ يَتَضَرَّرَ أَوْ يَضُرُّ غَيْرَهُ فَيُرَخَّصُ لَهُ فِي عَدَمِ شُهُوْدِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهَ، وَفِي كُلِّ مَا ذُكِرَ إِذَا لَمْ يَشْهَدِ الْجُمُعَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّيْهَا ظُهْراً أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ

"Barang siapa yang khawatir mendapatkan kemudorotan atau memberi kemudorotan kepada orang lain maka ia diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jum'at dan shalat jama'at, berdasarkan sabda Nabi لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ 'Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain,' (HR Ibnu Majah). Dan pada kesemuanya jika seseorang tidak menghadiri shalat jum'at maka ia menggantinya dengan shalat dzuhur 4 rakaat.." [https://www.spa.gov.sa/2047028]

Kedua:

Apakah dalam azan sudah perlu mengucapkan "Sholluu fii Rihaalikum" (Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian)..?

Jika memang wabah sudah mencapai tingkat penyebaran yang tinggi di sebuah kota maka tidak mengapa muadzin tatkala mengumandangkan adzan mengucapkan lafal tersebut, agar orang-orang shalat di rumah-rumah mereka..

Ketiga:

Boleh shalat memakai masker..

Hukum shalat dengan menutup mulut adalah makruh menurut 4 madzhab [Lihat: Bada'i ash-Shana'i 1/216, Syarh Mukhtashor al-Kholil 1/250, Al-Majmuu' 3/179, dan Al-Mughni 1/419] karena menyerupai orang-orang majusi tatkala beribadah atau karena bentuk berlebihan dalam beribadah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang  di dalam shalat..

أنْ يُغَطِّيَ الرجلُ فَاهُ

"Seseorang menutup mulutnya.." [HR Abu Daud no. 643 dan Ibnu Majah no. 966, dan dihasankan oleh al-Arnauuth dan al-Albani di al-Misykaah no. 764]

Namun hukum ini berubah jika ada kebutuhan seperti jika seseorang menguap maka ia bisa menutup mulutnya [Lihat Ma'aalim as-Sunan, al-Khottobi 1/179], demikian juga jika karena pekerjaannya [Lihat Mawahibul Jalil 1/503], atau karena penyakit [Lihat Majmuu Fataawa Ibn Baaz 11/114], maka demikian pula jika ia takut tertular penyakit atau takut menularkan penyakit..

Jika wabah di suatu kota belum parah dan masih memungkinkan untuk shalat berjama'ah maka tidak mengapa seseorang shalat sambil memakai masker..

Keempat:

Hukum qunut nazilah di saat wabah menyebar kuat..

Para ulama sepakat disyariatkannya qunut jika ada musibah (nazilah) yang menimpa kaum muslimin. Hanya saja mereka berselisih bagaimana jika musibah tersebut adalah wabah. Secara umum para ulama berselisih menjadi dua pendapat..

1. Dianjurkan untuk qunut nazilah meskipun karena wabah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi'iyah)..

An-Nawawi berkata:

الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ إِنْ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ كَعَدُوٍّ وَقَحْطٍ وَوَبَاءٍ وَعَطَشٍ وَضَرَرٍ ظَاهِرٍ فِي الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوِ ذَلِكَ قَنَتُوا فِي جَمِيعِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ

"Dan yang benar dan masyhur bahwasanya jika terjadi musibah seperti musuh (yang menyerang), musim kekeringan, wabah, dan kemudorotan yang jelas pada kaum muslimin dan musibah yang semisalnya maka kaum muslimin melakukan qunut di seluruh shalat lima waktu.." [Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, 5/176]

Asy-Syirbini berkata:

يُسَنُّ (الْقُنُوتُ) بَعْدَ التَّحْمِيدِ (فِي) اعْتِدَالِ أَخِيرَةٍ (سَائِرٍ) أَيْ بَاقِي (الْمَكْتُوبَاتِ لِلنَّازِلَةِ) الَّتِي نَزَلَتْ كَأَنْ نَزَلَ بِالْمُسْلِمِينَ خَوْفٌ أَوْ قَحْطٌ أَوْ وَبَاءٌ أَوْ جَرَادٌ أَوْ نَحْوُهَا

"Disunnahkan untuk qunut setelah 'samiallahu liman hamidah rabbana lakal hamdu,' di i'tidal rakaat yang terakhir di seluruh shalat lima waktu karena ada nazilah (musibah) yang menimpa. Seperti kaum muslimin ditimpa dengan ketakutan, musim kering, wabah, belalang, dan yang semisalnya." [Mughnil Muhtaaj, 1/317]

2. Tidak dianjurkan untuk qunut nazilah jika karena wabah, dan ini adalah pendapat madzhab Hanbali..

Al-Buhuti berkata:

لَا يَقْنُتُ لِرَفْعِ الْوَبَاءِ فِي الْأَظْهَرِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ الْقُنُوتُ فِي طَاعُونِ عَمَوَاسَ، وَلَا فِي غَيْرِهِ وَلِأَنَّهُ شَهَادَةٌ لِلْأَخْيَارِ، وَلَا يُسْأَلُ رَفْعُهُ

"Tidak qunut untuk menghilangkan wabah menurut pendapat hambali yang lebih kuat, karena tidak ada dalil adanya qunut dikarenakan tho'un 'amawas dan tho'un yang lainnya, dan karena wabah adalah pahala mati syahid bagi orang-orang yang baik, dan tidak berdoa untuk menghilangkannya.." [Syarh Muntahaa al-Irodaat, 1/242]

Pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, karena asalnya kita disyari'atkan untuk berdoa dalam rangka menghilangkan musibah. Para ulama (termasuk ulama madzhab Hanbali) sepakat jika ada musuh yang menyerang maka maka boleh untuk melakukan qunut nazilah, padahal datangnya musuh juga merupakan sebab untuk meraih pahala mati syahid. Jika demikian maka boleh juga qunut untuk dihilangkannya wabah, meskipun wabah juga merupakan sebab mati syahid. Demikian juga jika boleh qunut karena musim kering maka wabah lebih berbahaya..

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah (Arab Saudi). Mereka berkata:

أَمَّا الْقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي غَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فَلاَ يُشْرَعُ بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ إِلاَّ إِذَا نَزَلَ بِالْمُسْلِمِيْنَ نَازِلَةٌ مِنْ عَدُوٍّ أَوْ غَرْقٍ أَوْ وَبَاءٍ أَوْ نَحْوِهَا فَإِنَّهُ يُشْرَعُ الْقُنُوْتُ لِرَفْعِ ذَلِكَ

"Adapun qunut dalam shalat subuh dan shalat-shalat lima waktu yang lainnya maka tidak disyari'atkan, bahkan itu adalah bid'ah. Kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin seperti datangnya musuh, atau tenggelam (karena banjir dan lainnya-pen), atau wabah, atau yang semisalnya, maka disyariátkan qunut untuk diangkatnya musibah tersebut.." [Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah, 7/46 no. 2222]
  1. Catatan:
1. Para ulama berselisih apakah qunut nazilah dilakukan di semua shalat ataukah sebagian shalat saja. Sebagian ulama hanya membolehkan qunut di shalat jahriyah saja (ini pendapat ulama Hanafiyah, lihat Hasyiat Ibni Ábidin 2/11). Sebagian ulama membolehkan qunut nazilah kecuali shalat jum'at karena dicukupkan doanya Khothib dalam khutbah (ini pendapat yang mu'tamad di madzhab hanbali, lihat Syarh Muntahal Irodaat 1/242). Dan sebagian ulama membolehkan qunut dilakukan di seluruh shalat wajib, baik shalat lima waktu maupun shalat jum'at (ini adalah pendapat Syafi'iyah, lihat Mughnil Muhtaaj 1/371, dan ini pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Utsaimin lihat asy-Syarh al-Mumti' 4/47)..

2. Dengan demikian boleh qunut pada semua shalat wajib, dan tidak mengapa juga qunut pada sebagian shalat saja. Dan qunutnya dilakukan pada raka'at yang terakhir ketika i'tidal (setelah mengucapkan "Rabbanaa walakal hamdu")..

3. Jika qunut di shalat sirriyah (seperti dzuhur dan ashar) maka imam tetap menjaharkan doa qunutnya dan para makmum tetap mengaminkan..

Kelima:

Hukum memakai hand sanitizer yang mengandung alkohol 70 persen, lantas tidak mencucinya kemudian shalat..

Hal ini diperbolehkan karena alkohol bukan berarti pasti khomr. Memang khomer mengandung alkohol, akan tetapi tidak semua alkohol adalah khomr. Apalagi cairan yang mengandung alkohol 70 persen maka itu bukan khomr. Lagi pula pendapat yang benar bahwasanya khomr pun tidak najis sehingga yang dilarang adalah jika diminum karena bisa memabukkan. Apalagi alkohol bukan khomr. Jadi penggunaan hand sanitizer tidak membatalkan wudhu. (Jika seseorang yang menyentuh najis tidak batal wudhunya, tapi ia hanya tinggal membersihkan dirinya dari najis tersebut, apalagi menyentuh alkohol yang tidak najis)..

Keenam:

Bolehnya shalat dengan merenggangkan shaf (saling menjauh dalam shaf) agar tidak bersentuhan..

Tentu di antara kesempurnaan shalat adalah dengan merapatkan shaff, akan tetapi jika kondisinya darurat maka tidak mengapa sebagian kewajiban ditinggalkan apalagi perkara yang sunnah untuk ditinggalkan.

Jika memang shalat berjama'ah masih ditegakan di kota yang berwabah korona maka tidak mengapa bagi jama'ah untuk saling menjauh ketika shalat dikarenakan kawatir terjadinya kontak fisik memudahkan penyebaran virus corona..

C. Terkait Kegiatan Harian

Pertama:

Sebaiknya untuk tidak berjabat tangan ketika bertemu, dan hendaknya mencukupkan dengan salam dengan lisan saja. Karena yang paling utama dari salam adalah doa dengan ucapan lisan, adapun berjabat tangan maka ini dianjurkan, namun jika dikawatirkan bisa menjadi sarana penularan virus maka hendaknya ditinggalkan..

Kedua:

Sebaiknya mengurangi kegiatan di luar rumah yang menimbulkan banyak interaksi dengan orang lain. Jika terpaksa harus keluar karena tuntutan pekerjaan dan yang lainnya, maka hendaknya tetap berikhtiar dengan banyak mencuci tangan dan lain lain seuai arahan para ahli kesehatan..
  1. Catatan:
Di antara kasih sayang Allah adalah semua kebiasaan amal shalih yang biasa kita kerjakan, jika ada halangan syar'i yang menjadikan kita tidak bisa melaksanakannya maka pahala tetap saja mengalir berdasarkan kebiasaan kita. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

"Jika seorang hamba sakit atau bersafar maka tetap dicatat baginya seperti apa yang biasa ia kerjakan tatkala tidak bersafar dan tatkala sehat.." [HR. Al-Bukhari no. 2996]

Maka jika kebiasaan kita adalah shalat berjama'ah dan shalat jum'at, maka meskipun sekarang kita tidak melakukannya, kita akan tetapi mendapatkan pahalanya, karena itu adalah kebiasaan kita..

Jika sekarang kita tidak bisa berjabat tangan dengan saudara-saudara kita (untuk mencegah penularan) maka tetap saja dosa-dosa kita berguguran jika bertemu dengan saudara kita meski tanpa berjabat tangan. Hal ini karena kebiasaan ketika kondisi normal adalah berjabatan tangan..

D. Penutup

Hendaknya kita bekerja sama dengan baik kepada pemerintah dalam usaha menghadapi ujian virus COVID-19 (corona). Jika kerja sama tidak dilakukan, dan sebagian orang tidak peduli dengan arahan tentu tujuan yang diharapkan lambat untuk tercapai. Bahkan bisa jadi tindakan yang salah dan ceroboh bisa menyebabkan tersebarnya virus semakin parah. Bapak Presiden dan Bapak Gubernur Jakarta (semoga Allah menjaga keduanya dalam kebaikan) telah memberi arahan untuk beribadah di rumah, maka hendaknya kita bisa menjalankannya karena tidak bertentangan dengan dalil-dalil, bahkan sesuai dengan syari'at. Terlebih lagi MUI telah mengeluarkan fatwa tentang hal ini, terutama bagi penduduk kota yang telah tersebar wabah seperti Jakarta, maka hendaknya diperhatikan dan dijalankan, dan jangan dipertentangkan dengan fatwa-fatwa yang yang tidak jelas yang menjadikan orang-orang meremehkan atau bahkan tidak mengindahkan keputusan dan arahan pemerintah. Perkaranya bukan perkara sepele, kekhawatirannya bukanlah pada hal yang diragukan. Bukankah sudah berapa negara yang banyak jatuh korban?, padahal mereka juga sudah berusaha keras menjalankan arahan-arahan pihak-pihak ahli kesehatan. Di Jakarta bahkan sudah mengenai sebagian pejabat. Dan hampir seluruh kecamatan sudah ada yang terjangkiti, maka hendaknya kita benar-benar bekerja sama karena Allah, agar semua bisa dilewati dengan baik. Jika tidak dikhawatirkan maka dampaknya lebih parah. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa melakukan kegiatan keagaaman dan keduniaan kita dengan normal kembali..

Hendaknya marilah kita semua (termasuk penulis) untuk bertakwa kepada Allah, dan untuk meningkatkan ketakwaan. Karena tidaklah musibah menimpa kecuali karena dosa yang kita lakukan, apakah musibah tersebut untuk menggugurkan dosa ataukah untuk mengangkat derajat, atau bahkan bisa menjadikan seseorang meraih pahala mati syahid.  Maka perbanyak istighfar, perbanyak doa, dan jangan lupa sisihkan waktu untuk sholat malam dan bermunajat kepada Allah di sepertiga malam yang terkakhir. Apapun yang terjadi maka katakanlah sebagaimana firman Allah:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.." [QS. At-Taubah: 51]

Jakarta, 16 Maret 2020

***

Bahasan Sebelumnya: Teladan Salaf Dalam Menyikapi Wabah Virus Corona COVID-19

Sumber: Disalin Dari Situs BekalIslam(dot)Com

——○●※●○——

Blog Al-Mukhtashar
Senin, 16 Maret 2020


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." [HR. Muslim no. 1893]


Blognya Esha Ardhie Updated at: 20.25.00
Please Feel Free to Share