Perseteruan Antara Wali Songo Dan Syaikh Siti Jenar (Tokoh Sufi)

Perseteruan Antara Wali Songo Dan Syaikh Siti Jenar (Tokoh Sufi)

Perseteruan Antara Wali Songo Dan Syaikh Siti Jenar (Tokoh Sufi)

Tokoh sufi tentu saja dikenal lewat ungkapan kata-kata dan pemahamannya yang 'njelimet'. Menafsirkan Al-Qur'an dengan pikirannya sendiri dan menciptakan definisi merumitkan yang tidak dikenal dalam tatanan syariat, tapi anehnya hal yang demikian justru dianggap oleh sebagian orang sebagai perilaku 'kedalaman spiritual'. Mereka menampakkan sifat zuhud, namun mereka lancang terhadap ayat-ayat Allah..

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

والعجب من ورعهم فِي الطعام وانبساطهم فِي القرآن

"Yang aneh, mereka menghindari makanan, tetapi justru lancang terhadap Al-Qur'an.." [Talbis Iblis, 1/148]

Seorang tokoh sufi ternama, Syaikh Siti Jenar menuturkan: "Syahdat, shalat, dan puasa itu sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekkah, itu semuanya omong kosong. Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yang menuruti Auliya, karena diberi harapan surga dan kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Situ Jenar. Tidak pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di masjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepalan berbelulang. Sesungguhnya hal itu tidak masuk akal.." [1]

Syaikh Siti Jenar bukanlah sosok asing bagi masyarakat Tanah Jawa, ajaran 'Alam Kematian' dan konsep 'Manunggaling Kawula-Gusti' (penyatuan diri dengan Tuhan) begitu melekat kepada namanya. Seorang 'wali murtad' dengan paham tasawuf yang diperangi oleh Wali Songo dalam mengajak kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah..

Siti Jenar dituduh menyebarkan aliran sesat dan menjadi 'wali murtad'. Sebelum mencapai puncaknya, utusan Dewan Wali yang bernama Pangeran Tembayat menemui Siti Jenar dan saling mengadu argumentasi dalam masalah agama. Perdebatan keduanya menjadi meruncing. Hal itu dijumpai pada kata-kata Pangeran Tembayat yang memperingatkan Siti Jenar. Berikut adalah cuplikan perdebatan antara keduanya,

Pangeran Tembayat berkata: "Saat ini Syariah Arab sudah tersebar merata di tanah Jawa, sehingga menarik banyak orang melakukan keutamaan. Mereka sudah memiliki budi pekerti yang baik. Tiba-tiba engkau muncul dan mengajarkan ilmu yang merusak syara' dan menyebarluaskannya sampai ke lain daerah. Dunia ini engkau sebut sebagai alam kematian, akhirat engkau sebut alam kehidupan, surga dan neraka engkau katakan ada di dunia ini. Ucapan itu tidak layak.."

Pangeran Tembayat menambahkan tuturnya: "Itu diterima oleh orang-orang muda yang masih bodoh, sehingga banyak yang melanggar aturan dan merusak ketentraman negara, hanya karena merasa yakin bahwa wejanganmu itu benar. Sekarang saya ingin tahu, apa yang menjadi peganganmu sehingga engkau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat umum, tidak sesuai dengan Al-Qur'an atau Hadits..?"

Syaikh Siti Jenar menjawab: "Ooo..., Pangeran Bayat ternyata terbelakang, menjadi wali tetap tidak mengetahui ilmu tafsir, maka lebih baik menjadi budak. Bergelandangan ke mana-mana asal hidup, tetapi jika diminta untuk mati, pasti akan menolak. Padahal engkau menyatakan rela menyerahkan nyawamu, siang ataupun malam, jika dimintai Tuhan. Kalau demikian engkau bohong. Jika terjadi keributan dan nyawamu diminta, engkau menolak. Kalau begitu, apa bedanya menjadi wali dengan menjadi gelandangan, atau penjahat yang tuna wisma..?"

"Paman Bayat!" Ujar Syaikh Siti Jenar. "Jika paman ingin tahu kitab yang saya jadikan pegangan, itu menunjukkan kebodohanmu. Engkau mengaji Al-Qur'an, tetapi sama sekali engkau tidak memikirkan makna dalil-dalil itu (Al-Qur'an). Engkau orang Semarang datang ke Demak untuk menuntut ilmu agama Islam, tetapi engkau lengah, karena hanya belajar serta mendengar omong kosong dan menuruti suara penipu. Engkau sama sekali tidak menjiwai jiwa yang suci, sehingga pikiranmu tersasar.."

Syaikh Siti Jenar melanjutkan, "Kalau demikian, Paman! Engkau termasuk orang yang hidupnya terbelenggu keduniawian. Engkau berpura-pura menjadi orang suci, tetapi sesungguhnya asal bisa hidup. Perangaimu mirip jagoan Ponorogo. Mengaku sebagai waliullah memang sudah, meskipun engkau terkejut melihat perilaku saya. Ketahuilah Paman! Kitab pegangan saya adalah adalah surat-surat dalam Al-Qur'an. Dengarkanlah lafalnya: 'Kayun daim layamatu abadan', yang artinya ialah bahwa hidup itu tidak mengenal kematian, langgeng untuk selama-lamanya. Itulah sebabnya saya berpendapat bahwa alam dunia ini bukanlah kehidupan. Karena itu engkau bisa mati di dunia alam kematian ini.."

"Paman! Dengarkanlah dalil lainnya: 'Wa-lamayatu fil alamu-kubri yuzidu khalibahu', artinya ialah bahwa orang yang ada dalam alam kubur nanti akan memperoleh badan. Karena itu ia akan menerima neraka dan surga. Ketahuilah paman! Itulah keadaan yang ada di dunia sekarang ini sebagai alam kubur. Pikirkanlah kebenaran dari pendapat saya tersebut.."

Berkatalah Paman Bayat, "Kalau begitu, dimana letak surga dan neraka di dunia ini, Siti Jenar! Tunjukkanlah kepada saya. Jawabanmu akan saya catat untuk saya sampaikan kepada Wali Songo..!"

Syaikh Siti Jenar menjawab: "Ketahuilah Paman! surga dan neraka itu terdiri dua wujud yang terjadinya dari keadaan. Kitabmu sudah mengatakan, 'Anal janatu wa nara, katannalil al anna', artinya ialah wujud makhluk itu berasal dari kejadian, surga dan neraka sekarang sudah nampak, terbentuk dari kejadian-kejadian yang nyata. Saya berikan kiasan sebagai bukti adanya surga sekarang ini, berdasar wujud dan kejadian di dunia. Surga yang luhur terletak dalam perasaan hati yang senang, seperti orang yang duduk dalam kereta yang bagus, tetapi merasa sedih bahkan menangis tersedu-sedu. Berbeda dengan seorang pedagang keliling yang berjalan kaki sambil memikul beban barang dagangannya, malah menyanyi sepanjang jalan.."

"Ia menyanyikan berbagai macam lagu dengan suara mengalun merdu, sekalipun ia memikul, menggendong, menjinjing, atau menyunggi barang dagangannya hingga ke Semarang. Mereka telah menemukan surganya, merasa senang dan bahagia, ia tidur di rumah penginapan umum, berbantal kayu sebagai kalang kepala, dikerumuni serangga penghisap darah, tetapi ia dapat tidur nyenyak. Orang yang ada di surga akan memperoleh segala macam barang yang serba ada. Jika ingin bepergian, serba enak, karena kereta bendi tersedia mondar-mandir ke mana saja. Tetapi jika nerakanya datang, menangislah mereka bersama istri atau suami dan anak-anak mereka. Banyak contoh yang dapat paman lihat di dunia ini. Mustahil Paman tidak melihatnya, bahkan mungkin Paman sudah mengalami sendiri. Jadi saya kira tidak perlu saya jelaskan lebih lanjut.." [2]

Hingga Syaikh Siti Jenar tewas, cerita yang berkembang menyatakan bahwa para wali terutama Wali Songo sangat gencar memusuhi dan menumpas Syaikh Siti Jenar berikut konsep ajarannya. Manunggaling Kawula-Gusti bukanlah konsep baru, melainkan telah ada pendahulunya dari seorang tokoh sufi yang bernama Al-Hallaj dengan mengatakan 'Ana Al-Haq' (Aku adalah Tuhan), ia menyatakan bahwa dirinya dapat menyatu dengan Allah. Sebagai konsekuensinya, ia pun dihukum pancung oleh penguasa Baghdad pada tahun 309 Hijriyah..

Imam Ibnu Al-Jauzi mengatakan dalam kitabnya:

 اتفق علماء العصر عَلَى إباحة دم الحلاج فأول من قَالَ إِنَّهُ حلال الدم أَبُو عمرو القاضي ووافقه العلماء وإنما سكت عنه أَبُو العباس سريج قَالَ وقال لا أدري مَا يَقُول والإجماع دليل معصوم من الخطأ وبإسناد عَنْ أبي هريرة قَالَ قَالَ رَسُولُ اله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إن اللَّه أجاركم أن تجتمعوا عَلَى ضلالة كلكم"

"Para ulama sudah sepakat untuk menghalalkan darah Al-Hallaj. Yang pertama kali berpendapat seperti itu adalah Abu Amr Al-Qadhi, lalu disetujui ulama-ulama yang lainnya. Sedangkan Abul-Abbas bin Suraij abstain karena dia tidak mengetahui apa yang dikatakan Al-Hallaj. Sementara ijma' ulama merupakan dalil yang terjaga dari kesalahan. Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah melindungi kalian untuk membuat kesepakatan dalam menghadapi kesesatan dengan melibatkan kalian semua.." [Talbis Iblis, 1/154]

Abu Bakar bin Daud Al-Ashbahani berkata:

 إن كان مَا أنزل اللَّه عز وجل عَلَى نبيه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حقا فما يَقُول الحلاج باطل

"Kalau apa yang diturunkan Allah azza wa jalla kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq (benar), berarti apa yang dikatakan Al-Hallaj adalah batil.."

Ibnul Jauzi mengomentari:

وَقَدْ تعصب للحلاج جماعة من الصوفية جهلا منهم وقلة مبالاة بإجماع الفقهاء

"Anehnya, ada segolongan orang-orang sufi yang fanatik terhadap Al-Hallaj, hanya karena kebodohan mereka dan ketidaktahuan tentang ijma' fuqaha.." [Talbis Iblis, 1/155]

Syaikh Siti Jenar melalui muridnya Ki Ageng Kebokenongo yang sebelumnya beragama hindu, ia mengatakan:

"Tiada bersyahadat, tiada berdzikir, mengajarkan tentang kenyataan dari ajal. Hidup di dunia ini dipakai sebagai contoh perumpamaannya. Di dunia ini kepercayaan didesak oleh syahadat, serta dipadu dengan perumpamaan ilmu ghaib yang kosong. Berdzikir dan bersembahyang dipakai sebagai kedok penipuan, seperti yang diajarkan para sahabat waliullah.." [3]

Sebagai penutup tulisan ini, saya mengatakan bahwa kelicikan orang-orang buruk adalah dengan meninggalkan kebaikan dan menamakan orang-orang yang mengerjakan kebaikan dengan sebutan 'sok suci'..

Wallahu a'lam..

Baca Juga : Pandangan Syaikh Al-Albani Terhadap Sayyid Qutb (Ideolog Ikhwanul Muslimin)

[1] "Ajaran Dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar" Halaman 206, Karya Dr. Abdul Munir Mulkhan, Penerbit Kreasi Wacana Tahun 2002

[2] "Pergumulan Islam-Jawa" Halaman 140-143, Karya Dr. Abdul Munir Mulkhan, Penerbit Bentang Tahun 1999

[3] "Pergumulan Islam-Jawa" Halaman 299, Karya Dr. Abdul Munir Mulkhan, Penerbit Bentang Tahun 1999

——○●※●○——

Esha Ardhie
Kamis, 27 Oktober 2016


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." [HR. Muslim no. 1893]


Blognya Esha Ardhie Updated at: 18.25.00
Please Feel Free to Share