Jiwa Seorang Laki-Laki
Al-Khathib al-Baghdadi mengatakan, "Dia adalah imam dalam ilmu, pemuka dalam zuhud, tahu tentang fikih dan hukum, penghafal hadits dan mampu membedakan ilalnya, lurus adabnya, dan menguasai bahasa.." [Tarikh Baghdad, 6/28]
Abu Abdirrahman as-Sulami mengatakan, "Aku bertanya kepada ad-Daruquthni tentang Ibrahim al-Harbi, maka dia menjawab, 'Dia dianalogikan dengan Ahmad bin Hanbal dalam hal kezuhudan, ilmu, dan sikap wara-nya'." [Siyar A'lam an-Nubala', 13/360]
Dari Ahmad bin Abdullah bin Khalid bin Mahan (yang dikenal sebagai Ibnu Asad), dia mengatakan: Aku mendengar Ibrahim bin Ishaq mengatakan,
"Para cendikiawan seluruh umat bersepakat bahwa orang yang tidak berlari padahal mampu, maka dia tidak merasa senang dengan kehidupannya.."
Lalu dia mengatakan,
"Bajuku adalah baju yang paling bersih, sarungku adalah sarung yang paling kotor. Jiwaku tidak pernah mengatakan sama sekali bahwa keduanya sama. Satu kakiku terputus dan satunya lagi normal, dengan keduanya aku berjalan dan berkeliling Baghdad. Semuanya dengan sisi ini dan sisi itu. Aku tidak pernah berkata-kata kepada jiwaku untuk memperbaikinya. Aku tidak mengadu kepada ibuku, saudara-saudaraku, istriku, atau putri-putriku sama sekali tentang demam yang aku alami..
Laki-laki adalah orang yang memasukkan kesusahannya kepada dirinya sendiri dan tidak menyusahkan keluarganya..
Aku menderita sakit kepala sejak 45 tahun tanpa pernah aku mengabarkan kepada seorang pun. Aku mengalami kebutaan sebelah mata selama 10 tahun tanpa pernah aku mengabarkannya kepada seorang pun. Aku menghabiskan selama 30 tahun usiaku dengan sepotong roti dalam sehari semalam..
Jika istriku atau putriku datang membawanya maka aku memakannya. Jika tidak, maka aku tetap dalam keadaan kelaparan lagi kehausan hingga malam berikutnya. Sekarang aku makan separuh roti dan 14 butir kurma jika kurma itu kurma bagus, dan 20 butir kurma jika kurma tersebut berkualitas buruk..
Putriku sakit, lalu istriku pergi dan tinggal bersamanya selama sebulan. Berbukaku pada bulan itu dengan 1 dirham dan 2.5 daniq (25/60 dirham). Aku masuk ke pemandian umum dan aku belikan sabun untuk mereka seharga 2 daniq. Dengan demikian, nafkah selama bulan Ramadhan hanya 1 dirham lebih 4.5 daniq.." [Tarikh Baghdad, 6/30-31]
Abu al-Qasim al-Jili menceritakan, dia mengatakan: Ibrahim bin Ishaq al-Harbi sakit hingga hampir mati. Suatu hari aku menemuinya, maka dia mengatakan, "Wahai Abu al-Qasim, sesungguhnya aku berada dalam perkara yang besar bersama putriku.."
Kemudian dia mengatakan kepada putrinya, "Berdirilah dan keluarlah kepada pamanmu, katakanlah kepadanya.."
Dia pun menceritakan kepadaku, "Wahai paman, kami berada dalam perkara yang besar, bukan mengenai urusan dunia dan bukan pula mengenai urusan akhirat. Sepanjang bulan dan tahun kami tidak memiliki makanan kecuali sekerat roti dan garam, dan terkadang kami kami tidak memiliki garam. Kemarin al-Mu'tadhib mengirimkan utusan kepada kami dengan menebarkan 1000 dinar, tapi dia tidak mengambil sedikit pun sedangkan dia sakit.."
Al-Harbi pun menoleh kepadanya sambil tersenyum dan mengatakan, "Wahai putriku, apakah engkau takut fakir..?" Dia menjawab, "Ya.."
Al-Harbi mengatakan kepadanya, "Lihatlah ke pojok itu." Dia pun melihatnya, ternyata ada buku-buku. Al-Harbi mengatakan, "Di sana ada 12.000 Juz bahasa dan gharib yang telah aku tulis dengan tulisan tanganku. Jika aku mati, bawalah satu juz dalam setiap hari, juallah seharga satu dirham." Karena dia memiliki 12.000, maka dia bukanlah orang fakir.. [Mu'jam al-Udaba', 1/117-118]
Seperti itulah sosok seorang laki-laki yang sebenarnya. Tangguh, tak mengeluh, dan tak mengharap belas kasihan orang lain. Dengan segala keterbatasan, beliau pun menciptakan ribuan karya yang menjadi warisan bagi putrinya..
Dari Abu Imran al-Asyyab, dia mengatakan: "Seseorang berkata kepada Ibrahim al-Harbi, 'Bagaimana engkau kuat menulis semua kitab-kitab ini..?' Dia mengatakan, 'Aku pun marah lalu aku katakan: Aku (kuat menulis) dengan kesabaran dan darahku'." [Tarikh Baghdad, 6/33]
Lalu jika engkau bertanya, mengapa beliau tidak menjual saja tumpukkan kitab-kitabnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya..?
Bagaimana mungkin tulisan yang telah digoreskan dengan kesabaran dan dengan darahnya itu ia rela melepaskan begitu saja dari genggamannya..? Karena bagi seorang ulama, buku itu ibarat sang kekasih yang ia rela berletih-letih memperhatikannya, sangat mencintai, dan tentu tidak ingin kehilangannya..
Sedangkan kita..??
Tentu kita bukanlah apa-apa..
Baca Juga : Pengaruh Tabiat Istri Terhadap Cara Suami Mencari Nafkah
——○●※●○——
Esha Ardhie
Selasa, 28 Juli 2015