Fatwa MUI Tentang Hukum Imunisasi (Teks Fatwa Imunisasi Majelis Ulama Indonesia)

Fatwa MUI Tentang Hukum Imunisasi

Fatwa MUI Tentang Hukum Imunisasi

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor : 04 Tahun 2016
Tentang
IMUNISASI

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah:

>> Menimbang :

1. Bahwa ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan, yang dalam prakteknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan kembali, yaitu dengan imunisasi..

2. Bahwa imunisasi, sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat, kecacatan dan kematian..

3. Bahwa ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik karena pemahaman keagamaan bahwa praktek imunisasi dianggap mendahului takdir maupun karena vaksin yang digunakan diragukan kehalalannya..

4. Bahwa atas dasar pertimbangan di atas, maka dipandang perlu menetapkan fatwa tentang imunisasi untuk digunakan sebagai pedoman..

>> Mengingat :

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, antara lain:

“Barang siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan menghidupkan manusia semuanya..” (QS. Al-Maidah [5]: 32)

“... Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..” (QS Al-Baqarah [2]: 195)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu..” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar..” (QS. Al-Nisa [4]: 9)

Tambah Ayat : Tentang Darurat > FAMANUDTURRA

2. Hadis-Hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, antara lain:

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alahi wa sallam: Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya..” (HR. Al-Bukhari)

“Berobatlah, karena Allah tidak menjadikan penyakit kecuali menjadikan pula obatnya, kecuali satu penyakit yaitu pikun (tua)..” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

“Dari Abu Darda’, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya  Allah telah menurunkan penyakit dan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram..” (HR. Abu Dawud)

“Dari Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu: Sekelompok orang ‘Ukl atau Urainah datang ke kota Madinah dan tidak cocok dengan udaranya (sehingga mereka jatuh sakit), maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar mereka mencari unta perah dan (agar mereka) meminum air kencing dan susu unta tersebut..” (HR. Al-Bukhari)

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Tidak boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya)..” (HR. Ahmad, Malik, dan Ibnu Majah)

“Dari Habib bin Abi Tsabit ia berkata: Saya mendengar Ibrahim bin Sa'd berkata: Saya mendengar Usamah bin Zaid berbincang dengan Sa'd tentang apa yang didengar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: Bila kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu daerah maka jangan masuk ke daerah wabah tersebut. Dan bila wabah tersebut telah terjadi di suatu daerah sedang kalian berada di situ, maka jangan keluar dari daerah tersebut..” (HR. Al-Bukhari)

“Dari Usamah Ibnu Syarik (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Beberapa orang Arab pedalaman bertanya: Wahai Rasulullah, haruskan kami berobat? Rasulullah menjawab: Ya. Wahai hamba-hamba Allah, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit melainkan membuat pula penyembuh untuknya [atau ia mengatakan: obat] … … …” (Abu Isa al-Tirmidzi, perawi hadis: … dan ini adalah hadis hasan sahih)

“Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman berkata: Aku mendengar Abu Hurairah (yang meriwayatkan) dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (bahwa beliau bersabda): Janganlah kalian mendatangkan orang yang sakit kepada orang yang sehat..” (HR. Al- Bukhâri)

“Dari Abu Ad-Darda’ (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya, dan memberikan obat untuk tiap-tiap penyakit. Oleh karena itu berobatlah kamu, tetapi jangan berobat dengan yang haram..” (HR. Abu Dawud)

“Dari Abu Khuzamah, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kataku: Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang rukiah yang kami gunakan sebagai obat, dan obat-obatan yang kami gunakan sebagai penyembuh penyakit dan penangkal yang kami gunakan sebagai pemelihara badan, apakah berarti kami menolak taqdir Allah..? (Nabi) berkata: hal itu adalah taqdir Allah..” (HR. Al-Tirmidzi)

3. Kaidah-Kaidah Fiqh:

"Perintah terhadap sesuatu juga berarti perintah untuk melaksanakan sarananya..”

“Perbuatan yang hanya dengan perbuatan itu suatu perintah wajib menjadi sempurna maka perbuatan tersebut hukumnya wajib..”

“Mencegah lebih utama daripada menghilangkan..”

“Dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin..”

“Dharar (bahaya) harus dihilangkan..”

“Kondisi hajah menempati kondisi darurat..”

“Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang..”

“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar (kebutuhan)-nya..”

>> Memperhatikan :

1. Pendapat Imam Al-‘Izz ibn ‘Abd Al-Salam dalam Kitab Qawa’id Al-Ahkam:

“Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya, karena mashlahat kesehatan dan keselamatan lebih diutamakan daripada mashlahat menjauhi benda najis..”

2. Pendapat Imam Al-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ (9/55):

“Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat: Sesungguhnya berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya, apabila telah didapatkan –obat dengan benda yang suci– maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis. Inilah maksud dari hadits, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian”, maka berobat dengan benda najis menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis dan tidak haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat : Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila para ahli kesehatan –farmakologi– menyatakan bahwa belum ada obat kecuali dengan benda najis itu, atau obat –dengan benda najis itu– direkomendasikan oleh dokter muslim..”

3. Pendapat Muhammad Al-Khathib Al-Syarbaini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj yang menjelaskan kebolehan menggunakan benda najis atau yang diharamkan untuk obat ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya:

“Berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya..” (Muhammad Al-Khathib Al-Syarbaini, Mughni Al-Muhtaj, [Bairut: Dar Al-Fikr, t.th.], juz I, h. 79)

4. Fatwa MUI tentang penggunaan vaksin polio khusus (IPV) Tahun 2002 dan Fatwa MUI tentang penggunaan vaksin polio oral (OPV) Tahun 2005..

5. Fatwa MUI Nomor 30 Tahun 2013 tentang obat dan pengobatan..

6. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tahun 2015 yang diselenggarakan di Pesantren At-Tauhidiyah Tegal yang terkait dengan imunisasi..

7. Arahan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada acara Halaqah Penyelenggaraan Imunisasi Halal dan hasil-hasilnya yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan RI dan Komisi Fatwa MUI di Bogor pada 22 Januari 2016..

8. Presentasi narasumber dalam Halaqah Penyelenggaraan Imunisasi Halal, dari Direktur Surveilense dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan RI tentang Kebijakan Program Imunisasi Nasional yang intinya program imunisasi nasional dimaksudnya untuk mencegah penyakit tertentu; Ahli Imunisasi Anak dari IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) Dr. dr. Sujatmiko, SpA(K) tentang Penyakit yang Dapat Dicegah oleh Imunisasi, Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. H. Hasanudin AF tentang Imunisasi dan Pencegahan Penyakit dalam Perspektif Hukum Islam, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA tentang Beberapa Keputusan MUI tentang Imunisasi, Direktur PT. Biofarma tentang Penyiapan Vaksin Halal untuk Imunisasi, serta Direktur LPPOM MUI tentang Pelaksanaan Sertifikasi Halal Produk Vaksin dan Obat-Obatan..

9. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat Pleno Komisi Fatwa pada tanggal 23 Januari 2016..

***

Dengan bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,

MEMUTUSKAN

Menetapkan: FATWA TENTANG IMUNISASI

Pertama: Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:

1. Imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin..

2. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup tetapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lain, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu..

3. Al-Dlarurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia..

4. Al-Hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang..

Kedua: Ketentuan Hukum

1. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu..

2. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci..

3. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram..

4. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali:
a. digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat;
b. belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan
c. adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal..

5. Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib..

6. Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar)..

Ketiga: Rekomendasi

1. Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif..

2. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat..

3. Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin..

4. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal..

5. Produsen vaksin wajib mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan..

6. Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi..

7. Orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi..

Keempat: Ketentuan Penutup

1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya..

2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini..

***

Ditetapkan di : Bogor
Pada tanggal : 13 Rabi’ul Akhir 1437 H
(23 Januari 2016 M)

MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA

Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA

Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI'AM SHOLEH, MA

***


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." [HR. Muslim no. 1893]


Blognya Esha Ardhie Updated at: 19.31.00
Please Feel Free to Share