Menjawab Syubhat, Salafiyyin Anti Bicara Politik..?

Menjawab syubhat Salafi Anti Bicara Politik

Syubhat, Salafiyyin Anti Bicara Politik

Oleh : Ustadz Yazid Bin Abdul Qadir Jawas

Kita jawab, politik apakah yang kalian maksud..? Apakah politik dengan sistem demokrasi yang tengah marak kalian perjuangkan dan terjun langsung di dalamnya, ataukah politik yang syar'i yang telah dijelaskan oleh para ulama..?

Berikut kami bawakan pengertian politik yang disepakati syari'at dan siapakah orang yang berhak berbicara mengenai politik ini..

Politik (siyasah) secara bahasa, berarti pengurusan suatu perkara hingga menjadi baik. Dari pengertian umum ini diambillah makna khusus berikut; diambil dari kata "as-suus" yang berarti kepemimpinan. Dalam sebuah hadits disebutkan,

كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي

"Sesungguhnya kaum Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap kali seorang Nabi wafat maka digantikan dengan Nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku..." [1]

Maksudnya, yang mengatur urusan mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para umara dan pemimpin terhadap rakyatnya.. [2]

Adapun menurut syari'at, politik yang sejalan dengan syari'at (siyaasah syar'iyyah) adalah pengaturan kepentingan rakyat banyak dalam ruang lingkup daulah Islam (negara Islam) dengan cara-cara yang dapat menjamin terealisasinya kemaslahatan umum, dapat mencegah segala macam kerugian serta tidak melanggar syari'at Islam dan kaidah-kaidah asasinya, sekali pun tidak sepakat dengan pendapat para 'alim mujtahid.. [3]

Jadi, yang dimaksud politik ialah undang-undang pemerintahan, pengadilan, badan eksekutif negara, pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara, pengaturan militer, dan lain sebagainya.. [4]

Lantas, kewajiban siapakah politik syar'i (siyaasah syar'iyyah) itu. Berikut kita simak penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah. Beliau berkata,

"Orang yang menguasai Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta fatwa-fatwa para sahabat sajalah yang layak dikategorikan sebagai mujtahid dalam kasus-kasus nawaazil (kontemporer). Merekalah yang berhak berfatwa, dimintai fatwa, dan berhak melaksanakan kewajiban berijtihad.." [5]

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syanqithi rahimahullah berkata tentang kriteria imam, "Imam itu harus seorang yang mampu menjadi qadhi (hakim) kaum Muslimin. Harus seorang alim mujtahid yang tidak perlu lagi meminta fatwa kepada orang lain dalam pemecahan kasus-kasus kontemporer.." [6]

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Dalam hukum-hukum Islam, maka kemampuan Imam Ahmad dalam menjawab beberapa kasus kontemporer menurut ketentuan hukum Islam tidaklah perlu dibicarakan lagi. Namun beliau melarang murid-murid beliau membicarakan suatu permasalahan tanpa bimbingan ulama senior.." [7]

Dari penjelasan para ulama di atas, jelaslah bahwa tindakan para pemuda dewasa ini yang merujuk permasalahan politik kepada gerakan-gerakan Islam dan kepada orang-orang yang berbekal majalah dan media informasi, lulusan diklat-diklat kilat (pendidikan dan latihan kilat) sangat bertentangan dengan pernyataan-pernyataan para ulama di atas. Meski mereka mengaku tidak terikat dengan belenggu-belenggu madzhab atau mengaku pakar tentang perkembangan madzhab terkini..!

Oleh sebab itu, yang paling penting bagi seorang penuntut ilmu ialah dapat membedakan antara ahli fatwa dalam masalah ini dengan oknum-oknum yang berlagak pintar..

Abu Hatim ar-Razi rahimahullah berkata, "Pendapat dan madzhab yang kami pilih adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, dan tabi'in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Yaitu memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah serta membela para imam yang mengikuti jejak Salaf. Memilih apa-apa yang dipilih oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah di berbagai negeri, seperti Imam Malik bin Anas di Madinah, al-Auza'i di Syam, al-Laits bin Sa'ad di Mesir, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad bin Zaid di Iraq. Kami memilih pendapat-pendapat para imam tersebut dalam memecahkan kasus-kasus kontemporer yang tidak diriwayatkan pemecahannya dari Nabi, para sahabat, dan tabi'in. Kami membuang jauh-jauh pendapat para pengacau, penebar syubhat dan kerancuan, pembohong, dan pendusta.." [8]

Jadi jelaslah bagi orang yang berilmu dan mencari kebenaran siapa yang berhak dimintai fatwa dalam masalah ini. Lantas, mengapa kalian saling berlomba-lomba memenuhi panggung politik wahai pemuda Islam..! Hati kalian sangat tergoda dengan gemerlapnya. Dari segala penjuru kalian berbondong-bondong mendatanginya. Seakan-akan itu merupakan hak kalian..! Lebih baik dan utama, kalian mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut kadar kemampuan dan yang wajib atau dianjurkan atas kalian. Sesungguhnya itulah yang meneguhkan keistiqamahan kalian dan lebih menjamin sampainya ke tempat yang ingin dituju. Allah ta'ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

"Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)." [QS. An-Nisa': 66]

Apabila praktek politik (yang dimotori para pemuda sekarang ini) sudah menjadi alasan bertindak anarkis yang diatasnamakan jihad, dan apabila mereka (para pelajar muda) secara membabi buta dan serampangan membahas perincian hukum jihad, padahal mereka tidak paham sama sekali tentang 'aqidah yang benar, apalagi tentang jihad..!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang masalah jihad, "Kesimpulannya, pembahasan mengenai perincian hukum jihad merupakan tugas khusus kalangan para ulama yang benar-benar alim.." [9]

Wahai pemuda Islam, umat tidak membutuhkan juru dakwah yang hanya bermodal semangat menggebu. Sesungguhnya umat hanya butuh seorang alim mujtahid yang berfirasat tajam..! Sudah waktunya kalian membedakan antara keduanya..

Mengapa kalian menjauhi para ulama yang telah menghabiskan waktu mereka bersama ilmu, belajar dan mengajarkan ilmu serta gigih berdakwah seperti Syaikh Bin Baaz, Syaikh Ibnu 'Utsaimin, Syaikh Al-Albani, Syaikh Shalih Fauzan, dan yang lainnya. Lalu kalian lebih condong kepada para penuntut ilmu..!

Kesalahan pertama kalian adalah merasa puas dengan sesuatu yang tidak kalian miliki, yaitu ketika kalian memilih jalur politik. Padahal cukuplah ulama tersebut yang menanganinya. Akan tetapi seruan sesat menyesatkan bergema, "Ulama kita sekarang.. mereka kurang mengerti situasi dan kondisi.. kamilah yang melengkapi kekurangan tersebut.."

Kesimpulannya, hanya ulama-ulama yang menguasasi ilmu-ilmu syari'at saja yang berhak menangani siyaasah syar'iyyah (politik yang sesuai dengan syari'at)..

Baca Juga : Menjawab Syubhat Menamakan Diri Dengan Salafiyah Adalah Bid'ah

***

Catatan :

[1] Muttafaq 'alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3455) dan Muslim (no. 1842).

[2] Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (II/421).

[3] Siyasah Syar'iyyah (hlm. 15) karya 'Abdul Wahhab Khalaf. Dinukil dari Madaarikun Nazhar fis Siyaasah (hlm. 189). Lihat juga Fiqhus Siyasah asy-Syar'iyyah karya DR. Khalid al-'Anbari.

[4] Madaarikun Nazhar fis Siyaasah (hlm. 189).

[5] I'laamul Muwaqqi'iin (VI/125).

[6] Adhwaa-ul Bayaan (I/57).

[7] Lihat Majmuu' Rasaa-il al-Hafizh Ibnu Rajab, Risaalah as-Saadisah wal 'Isyruum: Ar-Radd 'alaa Manittaba'a Ghairal Madzaahib (II/633), cet. II, al-Faruq al-Haditsiyyah, th. 1425 H.

[8] Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (I/202, no. 323)

[9] Minhaajus Sunnah (IV/504).

——○●※●○——

Sumber : Mulia Dengan Manhaj Salaf, halaman 496-500. Penulis : Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Penerbit : Pustaka At-Takwa, Cetakan ke-7 Tahun 2013

Disalin ulang oleh : Esha Ardhie
Minggu, 09 Oktober 2016


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya." [HR. Muslim no. 1893]


Blognya Esha Ardhie Updated at: 19.57.00
Please Feel Free to Share